Oleh: Didin S Damanhuri
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB
Paket kebijakan ekonomi I, II, III, hingga IV yang dikeluarkan pemerintah adalah "syarat keharusan" (necessary condition), tapi belum cukup (unsufficent condition) untuk menggerakkan sektor riil, meningkatkan daya saing industri, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Terutama, bagi rakyat rentan miskin yang lebih dari 50 persen penduduk (dengan pengeluaran 2 dolar AS per hari).
Hal itu karena ''belum menyentuh akar persoalan'' dari struktur ekonomi yang sudah terperangkap oleh "para pemburu rente" (mafia migas, pangan, impor, perusahaan yang menikmati monopoli/oligopoli, monopsoni/oligopsoni, bahkan kartel) yang menciptakan ekonomi biaya tinggi selama ini. Dengan keadaan ini, problem eksternal (ketidakpastian tingkat bunga AS dengan tappering off-nya berjalan terus beserta pelemahan ekonomi Cina) yang menimbulkan depresiasi kurs rupiah terhadap dolar AS terburuk sejak 1988 dan sulit terkendali serta makin menyulitkan pemerintah untuk melindungi 50 persen penduduk dari kemerosotan daya beli dan kesejahteraannya.
Melihat penguatan kembali rupiah sepekan ini, harus ditunggu dulu perkembangannya karena masih bersifat "sentimen" (belum fundamental). Juga, masih jauh dari target mengurangi ketergantungan impor, baik barang modal untuk industri maupun barang kebutuhan pokok rakyat. Mengapa demikian?
Ada beberapa penjelasan. Antara lain, pertama, paket-paket kebijakan ekonomi yang pendekatannya "sangat moneteris", yakni umumnya berupa deregulasi dan debirokratisasi agar tercapai penurunan ekonomi biaya tinggi (untuk menaikkan daya saing industri) yang sifatnya moneter dan tak menyentuh akar persoalan. Yakni, struktur ekonomi yang penuh para pemburu rente, yang akan menyabot implementasi paket deregulasi dan debirokrasi. Hal ini karena mereka telah mengakumulasi "rezeki nomplok" berupa kapital-finansial karena "rezim devisa bebas" yang hasil ekspornya disimpan di luar negeri, keuntungan super normal dengan struktur monopoli/oligopoli, monopsoni/oligopsoni, bahkan kartel, dan berbagai mafia yang tak ingin "zona nyaman" mereka terusik.
Kedua, paket kebijakan ekonomi menyangkut jumlah yang ratusan, bahkan ribuan item untuk disederhanakan akan sangat bergantung pada implementasi dengan kontrolnya, pasti membutuhkan waktu dan konsistensi pelaksanaan. Penguatan kembali kurs rupiah belum menyentuh akar persoalan dari struktur ekonomi seperti telah dijelaskan. Hal ini bukan hanya karena lebih kuatnya problem eksternal, melainkan juga karena persepsi pelaku ekonomi terhadap paket kebijakan terasa tidak "ces pleng" alias butuh waktu yang itu pun belum pasti.
Ketiga, penurunan daya beli rakyat yang masif sudah terjadi sejak kenaikan harga BBM, listrik, gas, tranportasi, dan juga harga kebutuhan pokok (plus akibat kekeringan panjang) sehingga menimbulkan rontoknya permintaan terhadap barang dan jasa yang diikuti gelombang kebangkrutan usaha (besar, menengah, dan kecil) dengan PHK yang masif.
Dengan paket ekonomi yang sangat moneteris dan berjangka menengah, belum membentuk persepsi positif yang kuat untuk mendorong kurs rupiah menguat signifikan (dalam keseimbangan baru sekitar Rp 11 ribu-12 ribu per dolar AS) karena daya beli mayoritas rakyat dan daya tahan perusahaan sudah keburu anjlok.
Di samping paket kebijakan ekonomi yang umumnya berjangka menengah dan membutuhkan konsistensi dan kontrol dalam pelaksanaannya, juga dibutuhkan "kebijakan yang luar biasa" yang memang menghadapi problem eksternal dan internal yang juga luar biasa. Antara lain, pertama, untuk jangka pendek perlu menurunkan harga BBM, tranportasi, kebutuhan pokok rakyat sehingga langsung dapat mendongkrak daya beli masyarakat serta menurunkan biaya industri dan perdagangan.
Kedua, perlu pergub BI untuk mewajibkan devisa hasil ekspor agar disimpan di perbankan dalam negeri (sebelum menunggu revisi UU Lalu Lintas Devisa yang sudah kedaluwarsa) sehingga dapat menurunkan kurs rupiah secara signifikan dan dalam waktu singkat. Ketiga, perlu secara sukarela dari mulai presiden, menteri, anggota DPR, pejabat tinggi lainnya untuk menurunkan gaji, bahkan diikuti pihak manajemen perusahaan swasta besar dan menengah. Hal itu untuk membentuk "sense of crisis" dan sikap secara nasional untuk menghindari krisis besar ekonomi tingkat nasional maupun global.
Ini mengingat, bila melihat pemulihan ekonomi AS yang belum sepenuhnya meyakinkan, termasuk anggaran pemerintahan Barack Obama yang ditolak Senat, perang kurs AS vs Cina yang akan terus berlangsung, krisis ekonomi Eropa yang masih jauh dari selesai, ketegangan politik dan keamanan global, dan lainnya. Namun, kita bangsa Indonesia tentu sangat tak mengharap keadaan terburuk itu terjadi.
Dalam rangka mengingatkan visi Jokowi-JK setelah satu tahun memerintah adalah menggapai kemandirian ekonomi sebagai simpul utama dari Trisakti dan Nawa Cita yang harus dijabarkan dalam kebijakan konkret dan sistematis. Prasyaratnya dengan membongkar keberadaan "para pemburu rente" dalam struktur ekonomi seperti telah disebutkan, yang akan sangat menentukan keberhasilan kebijakan dan program menuju kemandirian ekonomi.
Kerberadaan para pemburu rente akan terus mendorong meraksasanya utang negeri, mengerdilkan bahkan menyabot setiap upaya reformasi (termasuk paket kebijakan ekonomi I-IV), mempertahankan lemahnya kedaulatan politik dan kepribadian dalam budaya (dua unsur Trisakti selain kemandirian ekonomi), dan tetap akan mengokohkan strategi "efek penetesan ke bawah" (trickle down effect) yang kapitalistik (yang menganggap kemakmuran dapat dicapai hanya dengan membesarkan "kue" oleh para pelaku besar atau pemilik modal raksasa) yang sudah terbukti gagal. Selama ini, hal itu telah menciptakan ketimpangan (antargolongan pendapatan, antarwilayah, dan antardesa-kota) yang sudah buruk keadaannya (rasio Gini konsumsi sudah 0,43).
Padahal, Allan Gresspan, mantan gubernur Bank Sentral AS dan Christine Lagarde (direktur pelaksana IMF) baru-baru ini telah mengakui strategi "efek penetesan ke bawah" yang menjadi strategi besar pembangunan ekonomi dunia telah gagal karena menciptakan ketidakadilan dengan makin buruknya ketimpangan ekonomi, kerusakan ekologi, dan ketidakadilan sosial secara global.
Kalau saja otoritas ekonomi global sudah mengakui kegagalan strategi efek penetesan ke bawah, mengapa Indonesia masih terus memakainya, termasuk masih kuatnya dalam kebijakan Jokowi-JK dengan melihat kebijakan pemerintahannya selama satu tahun ini dan cenderung meninggalkan prinsip mencapai kemandirian ekonomi dengan Nawa Citanya yang sekarang sudah menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang seharusnya dijadikan pegangan bagi seluruh otoritas ekonomi dan para birokrat di bawahnya. Mudah-mudahan demikian ke depannya.