REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Kementerian Pertahanan (Kemenhan) untuk menjalankan program bela negara, memicu pro dan kontra. Sebagian pihak menilai program tersebut tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
Pengamat militer asal Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengatakan bentuk partisipasi warga negara dalam upaya Bela Negara sebenarnya sudah diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2003 tentang pertahanan negara.
Perwujudan Bela Negara itu diatur dalam empat jalur, yaitu melalui pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib yang diarahkan untuk menyiapkan komponen cadangan pertahanan, menjadi anggota TNI secara sukarela maupun wajib, dan Bela Negara dengan pengabdian sesuai profesi masing-masing.
''Sayangnya, Undang-undang yang mengatur lebih lanjut mengenai implementasi bela negara, hingga kini belum ada. Selain pendidikan kewarganegaraan, pelatihan militer dasar wajib, pengabdian profesi dan wajib militer belum dapat dilaksanakan,'' jelasnya kepada Republika, Kamis (15/10).
Akibat belum adanya undang-undang yang mengatur lebih lanjut, maka belum ada rincian mengenai batasan, kriteria, teknis pelaksanaan, penggangaran, maupun pengawasan dari program tersebut.
''Artinya, pelatihan Bela Negara yang direncanakan Kementerian Pertahanan itu tidak memiliki alas hukum yang tepat dan memadai. Sehingga tidak patut digelar,'' katanya.
Kendati begitu, Khairul menyadari, penyelenggaran pertahanan negara yang kuat harus tetap dilakukan dan sesuai dengan doktrin Sistem Pertahanan Semesta (Sishanta). Berdasarkan doktrin pertahanan ini, rakyat dan sumber daya nasional adalah potensi dasar dalam kekuatan pertahanan Indonesia.
Karena itu, dalam konteks Bela Negara, hal yang paling mendasar, menurut Khairul, adalah penyiapan regulasi yang akan memayungi penyelengaraan pertahanan negara secara efektif.
Menurut Khairul, sejumlah PR legislasi, seperti RUU Keamanan Nasional, RUU Keamanan Cadangan, RUU Komponen Pendukung, RUU Mobilisiasi/Demobilisasi, dan RUU Bela Negara harus segera disusun dan diselesaikan.
''Tapi, prinsip-prinsip demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Kebangsaan tetap menjadi acuan utamanya dalam perumusan Undang-Undang tersebut,'' ujarnya.