REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksana Tugas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indriyanto Seno Adji berkomentar mengenai pembatasan penanganan perkara yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ia menilai, korupsi tak bisa dilihat dari jumlah, tapi makna korupsi itu sendiri.
"Pembatasan penanganan korupsi dengan minimal Rp 50 miliar tidak tepat," kata Indriyanto di Jakarta, Rabu (7/10).
Indriyanto mengatakan, permasalahan korupsi tidak berpijak pada nilai kuantitatif. Tetapi, lanjut dia, lebih pada perilaku perbuatan tercela dari pelaku korupsi. Selama ini, KPK berhak menangani perkara dengan batasan total transaksi korupsi Rp 1 miliar.
Dari aturan tersebut, menurut Indriyanto, sejak berdirinya KPK hingga semester I tahun 2015, lembaga antirasuah berhasil menghelat penyelidikan sebanyak 705 perkara, penyidikan 427 perkara, penuntutan 350 perkara, inkrah (berkekuatan hukum tetap) 297 perkara, dan eksekusi 313 perkara.
"Tidak tepat bila nilai penanganan korupsi dilihat dari nilai kerugiannya," ujar Indriyanto.
Indriyanto menambahkan, selama ini KPK telah menangani perkara, baik yang merugikan negara atau tidak. Kerugian negara ditemukan dalam sejumlah proyek pengadaan di beberapa kementerian atau lembaga. Salah satunya, lanjut dia, dalam penyelenggaraan haji yang digelar Kementerian Agama dengan dakwaan nilai kerugian hingga Rp 50 miliar.
Selain itu, menurut dia, KPK juga menangani kasus korupsi dengan jenis lain, seperti suap dan gratifikasi yang tak melibatkan uang negara. Misalnya, suap yang diberikan oleh kepala daerah kepada mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Akil didakwa menerima suap mencapai Rp 15 miliar dari bupati nonaktif Empat Lawang Budi Antoni Aljufri dan Rp 2,98 miliar dari bupati nonaktif Morotai Rusli Sibua.
"Berapa pun nilainya, menjadi kewajiban penegak hukum untuk memeriksanya, baik dari KPK, Polri, maupun Kejaksaan," katanya.
Indriyanto mengaku, dengan adanya usulan tersebut, kewenangan KPK justru diamputasi. "Revisi ini jelas mengamputasi wewenang khusus lembaga KPK menjadi public institution. Kalau DPR memang bersikukuh untuk lakukan revisi maka sebaiknya dipikirkan saja perlu tidaknya kelembagaan KPK di bumi tercinta ini," ujar Indriyanto.