Selasa 19 May 2015 19:13 WIB

Presiden Jokowi Diminta Berani Copot Menteri Yasonna

Rep: C36/ Red: Ilham
Menkumham Yasonna Laoly
Foto: Republika/ Wihdan
Menkumham Yasonna Laoly

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengatakan, Presiden Joko Widodo perlu melakukan revisi terhadap kinerja Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly. Bila perlu, Presiden disarankan untuk tidak ragu lagi mencari pengganti Yasonna.

“Sudah saatnya kinerja Menkumham dievaluasi oleh Presiden. Sebab, sudah dua kali dia melakukan kesalahan dalam mengeluarkan SK pengesahan partai politik. Mestinya, Presiden juga tidak perlu ragu untuk mengganti Menkumham,” katanya saat dihubungi ROL,  Selasa (19/5).

Dirinya menilai, Menkumham abai terhadap asas kehati-hatian, persamaan, dan pertanggungjawaban wewenang dalam mengeluarkan peraturan hukum.  Kesalahan tersebut, lanjut dia, tidak bisa diabaikan mengingat Menkumham adalah penanggungjawab kekuasaan tata negara.

“Kinerja Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) menunjukkan kualitas peradilan kita baik di dalam maupun luar negeri. Karenanya, kita membutuhkan menteri yang bisa memperkuat sistem peradilan,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Margarito menjelaskan, Jokowi perlu mempertimbangkan penggantian Menkumham dalam reshuffle kabinet. Menurutnya, ada cukup banyak calon yang mampu menggantikan Yasonna. “Ada nama-nama ahli hukum yang mumpuni dan berpotensi  bisa menggantikan Menkumham saat ini. Ambil saja satu nama di antara yang terbaik,” tegas dia.

Seperti diketahui, pada Senin (18/5),  PTUN  mengumumkan  pembatalan terhadap SK Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Kubu Agung Laksono. Dengan adanya putusan ini, maka sudah dua kali penetapan SK Menkumham terkait kepengurusan parpol menjadi polemik hukum.

Sebelumnya, Menkumham mengeluarkan SK yang mengesahkan kepengurusan DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kubu Romahurmuziy. Sengketa kepengurusan PPP kini sedang dalam proses banding di PT TUN setelah sebelumnya  PTUN mengabulkan gugatan kubu Djan Faridz  yang menuntut pembatalan SK.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement