REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Fraksi Partai Hanura di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Syarifudin Sudding, mengatakan peluncuran tiga kartu sakti Jokowi tidak perlu melalui pengesahan dari DPR. Hal itu karena penyesuaian anggaran dengan sendirinya akan dilakukan pada saat pembahasan perubahan anggaran pada 2015 mendatang.
"Saya kira, anggaran tiga kartu sakti Jokowi sudah memiliki payung hukum melalui UU APBN. Tinggal dilaksanakan dan harusnya dihargai dan diapresiasi. Karena hanya dalam waktu relatif singkat, Jokowi telah berupaya merealisasikan program unggulannya. Ini menunjukkan pemerintah bekerja cepat," kata Sudding kepada //Republika Online (ROL), Sabtu (8/11).
Sudding menyebutkan, bahwa KIS merupakan kelanjutan dari program BPJS. Hanya saja, nomenklaturnya yang berubah. Ia mengatakan, payung hukum nomenklatur dari program kesehatan tersebut mengacu pada Undang-undang APBN yaitu UU no. 23 tahun 2013 yang telah diperbaharui menjadi UU no. 12 tahun 2014. Di mana disebutkan, bahwa ketika terjadi pergeseran anggaran antar program atau jenis belanja, harus dibahas bersama antara DPR dan pemerintah. Hal itu menyangkut penyusunan perubahan anggaran.
Namun dalam konteks ini, menurutnya, DPR sendiri masih memiliki masalah internal terkait dualisme di tubuh DPR sendiri. Sementara, pemerintah sudah ingin bekerja cepat. Karena itu ia menilai, tiga kartu sakti Jokowi ini tinggal dilaksanakan tanpa menunggu melalui pembahasan bersama antara pemerintah dan DPR. "Kalau nunggu pembahasan di DPR, kapan direalisasikan," lanjutnya.
Terkait dengan pernyataan Yusril Ihza Mahendra yang mengatakan pembiayaan KIS, KIP dan KKS bisa menjadi masalah bagi Jokowi. Sudding mengatakan, sepanjang tidak ada penyelewengan anggaran, hal itu tidak perlu dikhawatirkan.
Menurutnya, di samping ada kepastian, hukum juga memiliki asas manfaat. Akan tetapi menurutnya, tujuan yang harus didahulukan adalah asas manfaatnya. Sebelumnya, Yusril dalam akun twitternya @Yusrilihza_Mhd mengingatkan agar jangan sampai presiden Jokowi terjerumus, karena kurang faham mengelola negara.