REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintahan Jokowi-JK didedak untuk mengembalikan kedaulatan pangan. Selama ini kebutuhan pangan Indonesia masih tergantung impor.
Peneliti dari Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, mengatakan derasnya impor berakibat terhadap peningkatan angka kemiskinan petani di pedesaan. Dalam kurun tiga tahun terakhir, lanjutnya, nilai impor pangan mencapai lebih dari 19,2 miliar Dolar AS.
Menurutnya, situasi tersebut diakibatkan massifnya agenda pasar bebas ASEAN yang melakukan pembukaan akses pasar dan investasi asing.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 dinilai telah membuka akses pasar pangan secara lebar yang berdampak terhadap menurunnya daya saing petani dan nelayan.
"Selain itu, liberalisasi pangan ASEAN mendorong industrialisasi pangan oleh korporasi sehingga semakin memarginalkan petani dan nelayan sebagai produsen pangan nasional”, jelasnya melalui rilis yang diterima Republika, Kamis (16/10) malam.
Rachmi menuturkan, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan terjadi penurunan jumlah tenaga kerja sektor pertanian sebesar 1,53 juta orang terhitung sejak Februari 2012-Februari 2014. Angka kemiskinan di pedesaan juga masih cukup tinggi yang mencapai 14,7 persen pada awal 2014.
Martin dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menambahkan dengan pembukaan pasar akibat MEA 2015, Indonesia semakin merugi. Sebab, pencurian ikan yang secara aktif dilakukan oleh empat negara ASEAN; Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Filipina.
Selain itu, pembukaan akses pekerjaan ABK asing yang secara nyata merampas lapangan pekerjaan warga negara Indonesia sebagai salah satu modus pencurian ikan.
Budi Laksana dari Field Indonesia, mengatakan paradigma kebijakan pangan yang memberikan ruang seluas-luasnya kepada peran korporasi transnasional dalam industrialisasi pangan sudah saatnya dihentikan.
Hal ini berdampak terhadap pengambil-alihan lahan petani. Menurutnya, pembangunan Food Estate dibawah MP3EI telah berdampak terhadap pengambil-alihan lahan ke tangan korporasi.
"Dengan pertumbuhan sebesar 24,57 persen penguasaan lahan oleh korporasi dalam kurun waktu 10 tahun, telah menghilangkan 5,17 juta petani atas kepemilikan lahannya,” jelas Budi.