Senin 13 Oct 2014 15:05 WIB

Pemilu Elektronik: Yang Menolak Politisi, Bukan Rakyat Gaptek

Rep: ira sasmita/ Red: Taufik Rachman
Pemilu
Pemilu

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Kepala Program Sistem Pemilu Elektronik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Andrari Grahitandaru mengatakan, selama ini kerap kali kesiapan masyarakat dijadikan alasan saat pemilu elektronik hendak diterapkan.

Masyarakat memang menjadi pemangku kepentingan paling menentukan dari realisasi sistem pemilu apapun yang digunakan. Namun, menurutnya ketidaksiapan masyarakat juga tidak bisa serta-merta dijadikan alasan pemilu elektronik tidak bisa digunakan.

"Selama ini masalah yang paling mentok itu aspek legalitas, masalah teknis tidak serumit nonteknis. Namun, jangan pernah mengatakan masyarakat belum siap," kata Andrari.

Dari pelaksanaan pemilihan kepala dusun dan pemilihan kepala desa di Jembrana dan Boyolali terungkap bahwa masyarakat bukan penghambat. Begitu pula saat BPPT mensimulasikan pilkada Bantaeng, dan sistem e-rekapitulasi di Pekalongan saat pileg 2014.

"Masyarakat dikasih apapun nurut, yang masalah itu yang ngomong. Apa lagi masyarakat kecil, yang di desa, bupatinya, kepala desanya ngomong milih elektronik mereka ikut dan ternyata bisa," jelasnya.

Lulusan Fisika ITB tersebut menceritakan, masyarakat justru merasa lebih tertarik dan antusias saat pemilihan kepala desa menggunakan mekanisme elektronik. Padahal, saat ditanyakan sistem elektronik hampir semua masyarakat mengaku awam.

BPPT, Andrari melanjutkan, mengembangkan sistem pemilihan yang ramah dengan kondisi masyarakat. Masyarakat tidak disulitkan saat memilih. Justru dimudahkan saat memasuki bilik suara. Mereka hanya tinggal meng-klik wajah calon kepala desa yang dipilih. Dan mengonfirmasi pilihan tersebut dengan menekan tombol yang sudah disediakan pada perangkat.

"Yang menolak itu selalu para politisi, mereka bilang masyarakat belum siap, masyarakat gaptek, ga ngerti komputer. Emang pemilih harus kenal komputer, enggak, kan cuma tinggal pilih dan sentuh saja," ujar Andrari.

Justru, menurutnya sistem pemilihan elektronik membuat masyarakat menjadi lebih percaya dengan pemilihan yang berlangsung. Lantaran selama ini, seringkali masyarakat tidak mengetahui apa yang terjadi setelah mereka meninggalkan bilik suara.

Dengan sistem pemilihan elektronik, masyarakat bisa melakukan pemantauan. Peserta pemilu juga lebih mudah melakukan pengawasan dan memastikan tidak ada yang curang atau dicurangi saat pemilihan hingga penghitungan suara.

Andrari mengatakan, kepercayaan masyarakat merupakan kunci dari pelaksanaan dan legalitas pemilu. Pemilu elektronik yang dibangun juga harus memastikan semua tahapan dan proses yang berlangsung transparan dan bisa diperca oleh masyarakat.

Karena itu, BPPT mengkaji perlunya diadakan lembaga sertifikasi independen yang bekerja dengan KPU. Lembaga sertifikasi bertugas memverifikasi dan memastikan tahapan dari awal menggunakan prosedur sesuai dengan aturan hukum yang ada.

Lalu, teknologi yang digunakan harus bisa diaudit oleh lembaga pengawas pemilu. Dengan begitu, sistem elektronik yang digunakan tidak hanya berjalan di bawah kendali satu lembaga saja. Tetapi bisa diawasi dan dipastikan validitasnya oleh Bawaslu bekerja sama dengan lembaga independen untuk melakukan audit.

UU Keterbukaan Informasi Publik, lanjut dia, juga menjadi jaminan bagi masyarakat. Bahwa dokumen dan informasi apapun menyangkut pelaksanaan pemilu merupakan informasi publik yang berhak diketahui masyarakat. Karena itu, menurut Andrari, pemilu elektronik bisa dilaksanakan di Indonesia. Karena masyarakat sendiri sudah siap dengan sistem tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement