REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait meminta agar 26 guru Jakarta International School (JIS) tidak dideportasi ke negaranya masing-masing. Menurutnya keputusan itu sangat tidak bijak.
Seharusnya, ujar Arist, pemerintah bukan mendeportasi guru-guru JIS itu. Namun malah mencekalnya jangan sampai kabur sebab mereka harus diselidiki apakah terlibat kekerasan seksual pada anak karena ada indikasi ke sana. Jika guru-guru tersebut dideportasi, terang Arist, maka ini terlihat ada intervensi terhadap kewenangan negara.
"Indonesia merupakan negara yang berkedaulatan, seharusnya guru-guru asing itu menghomati kedaulatan negara kita, jangan sampai kalah dengan intervensi asing padahal anak Indonesia ada yang jadi korban kekerasan seksual," terangnya.
Kalau sampai guru-guru itu dideportasi, ujar Arist, maka ini adalah kekalahan negara terhadap intervensi asing. Kalau guru-guru itu dideportasi, kata Arist, maka negara akan kesulitan melacak keberadaan mereka jika ternyata ada salah satu dari guru itu yang terlibat dalam kejahatan seksual di JIS.
"Mereka lari ke Singapura saja, Indonesia sudah kesusahan untuk menjeratnya secara hukum, makanya cekal dulu mereka," katanya.
Di JIS itu, tambahnya, terjadi kejahatan seksual secara sistematik. Jadi kalau guru-guru JIS dideportasi kasus ini susah diungkap karena saksi kejahatan bisa hilang. "Harus diingat JIS bisa menyembunyikan penjahat pedofil kelas dunia, Vahey selama 10 tahun. Jangan sampai negara kalah dengan intervensi asing dengan mendeportasi para guru itu," kata Arist.
Sementara itu, Kepala Pusat informasi dan Humas Kemendikbud Ibnu Hamad saat dihubungi menyatakan tuntutan keluarga korban AK terhadap JIS atas kekerasan seks yang menimpa yakni ganti rugi 125 dolar AS. Sedangkan tuntutan kepada Kemendikbud, penutupan JIS secara permanen.