Rabu 02 Apr 2014 22:46 WIB

ICW: Ada Inkonsistensi Pemerintah-Parpol Perangi Korupsi

Rep: Irfan Fitrat/ Red: Bilal Ramadhan
ICW menegaskan modus politik uang tak hanya akan terjadi menjelang dan saat pencoblosan.
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
ICW menegaskan modus politik uang tak hanya akan terjadi menjelang dan saat pencoblosan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Indonesia Corruption Watch (ICW) melihat adanya permasalahan dalam pemberantasan korupsi. Peneliti ICW Abdullah Dahlan menilai permasalahan itu terlihat karena adanya inkonsistensi sikap dan langkah kepemimpinan politik.

Abdullah menyoroti kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia mengatakan, seperti ada standar ganda ketika membicarakan pemberantasan korupsi. "Satu sisi SBY seringkali bicara konsepsi aras agenda pemberantas korupsi. Inpres begitu banyak dikeluarkan, tapi tidak jelas pada tataran impelementasi," kata dia, dalam acara diskusi di Jakarta, Rabu (2/4).

Selain itu, Abdullah juga melihat adanya sikap yang berbeda ketika pihak dalam lingkar kekuasaan terseret kasus korupsi. Menurut dia, posisi kepala pemerintahan justru tidak tergambar memberikan dukungan penuh pada aparat penegak hukum. Abdullah juga mencontohkan bagaimana langkah pemerintah terkait Revisi Undang-Undang KUHAP yang disebut berpotensi melemahkan pemberantasan rasuah. "Inisiatif awal justru dari pemerintah," kata dia.

Abdullah juga menyoroti bagaimana posisi partai politik dalam pemberantasan korupsi. Saat ada kadernya terseret, menurut dia, pihak partai politik justru memberikan pembelaan. Padahal, ia mengatakan, tokoh partai politik gencar menyuarakan antikorupsi ketika berkampanye. "Ini perlu saya kira publik juga menilai sikap partai semacam ini. Jangan sampai isu antikorupsi sekadar komoditas hanya untuk kepentingan elektoral," ujar dia.

Praktik korupsi yang melibatkan politisi di parlemen, menurut Abdullah, juga sangat sulit untuk dipisahkan dengan institusi partai. Bahkan, ia menilai, ada dugaan dana masuk untuk kepentingan partai. Persoalan ini, menurut dia, tidak terlepas juga dari kondisi sebagian besar partai yang tidak mempunyai mekanisme pendanaan mandiri. "Cara shortcut seringkali dipakai menggunakan kader sebagai alat tambah logistik atau finansial partai," kata dia.

Menurut Abdullah, ke depan harus ada perhatian terhadap peran partai politik. Apabila institusi partai terbukti menjadi bagian dalam praktik korupsi, ia mengatakan, bisa dijerat oleh hukum. Bahkan, menurut dia, perlu diperkenalkan persoalan itu menjadi salah satu syarat pembubaran partai. "Ini memberikan pembelajaran penting. Jangan sampai partai politik menjadi kanal dalam praktik korupsi," ujar dia.

Terkait persoalan pendanaan partai, Abdullah mengatakan, harus ada penataan yang lebih baik ke depan. Selama ini, menurut dia, Undang-Undang Partai Politik masih berada di wilayah abu-abu terkait pendanaan. Ia mengatakan, partai dapat menerima sumbangan dari negara dan sumbangan dari pihak ketiga. "Tetapi tidak disebutkan ketika partai menerima sumbangan dana ilegal," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement