REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG--Mantan Rektor UIN Bandung Prof Nanat Fatah Natsir mempertanyakan alasan Mahkamah Konstitusi yang terlalu lama membacakan putusan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 terkait gugatan keserentakan pemilu presiden dan legislatif.
"Mengapa putusan itu baru dibacakan sekarang. Padahal, menurut mantan Ketua MK Mahfud MD, perkara itu sudah diputuskan pada Maret 2013," kata Nanat Fatah Natsir di Jakarta, Jumat.
Direktur Madani Nusantara itu mengatakan meskipun keputusan tersebut harus dihormati dan dilaksanakan, tetapi tetap perlu diselidiki alasan MK menunda-nunda pembacaan putusan tersebut agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Bila perlu, MK sebagai lembaga yang memutuskan perkara tersebut harus menjelaskan kepada publik agar masyarakat tidak menduga-duga.
"Publik bisa melihat hal itu sebagai hal yang aneh atau ada unsur kesengajaan. Masa tinggal membacakan saja perlu waktu berbulan-bulan?" tuturnya.
MK mengabulkan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) terkait pelaksanaan pemilu serentak pada 2019 dan seterusnya.
"Menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya," kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva, saat membacakan amar putusan di Jakarta, Kamis.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak memang akan lebih efisien, sehingga pembiayaan penyelenggaraan lebih menghemat uang negara yang berasal dari pembayar pajak dan hasil eksploitasi sumber daya alam serta sumber daya ekonomi lainnya.
"Hal itu akan meningkatkan kemampuan negara untuk mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," kata Hakim Konstitusi Fadlil Ahmad Sumadi, saat membacakan pertimbangan hukumnya. .
Perkara tersebut tahun lalu diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil yang dimotori pengamat politik Effendi Gazali. Belakangan, calon presiden yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra mengajukan perkara serupa.