REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mempertanyakan putusan Mahkamah Konstitusi perihal pemilu serentak yang dilaksanakan mulai tahun 2019 yang dinilainya memberikan dampak inkonstitusional.
"Apakah hakim konstitusi sesungguhnya memahami konstitusi?" kata Yusril Ihza Mahendra melalui pesan "blackberry" di Jakarta, Jumat.
Yusril menilai, Hakim konstitusi yang mengumumkan putusan pemilu serentak dilaksanakan mulai tahun 2019, membuat langkah blunder.
Menurut dia, pada putusan yang mengabulkan gugatan uji materi dari Effendi Gazali tersebut, hakim konstitusi, di satu sisi berpandangan, beberapa pasal UU Pemilu Presiden bertentangan dengan UUD 1945, sehingga pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Namun di sisi lain, kata dia, hakim konstitusi juga berpandangan bahwa pemilu serentak baru diberlakukan pada 2019 dan seterusnya."Padahal, putusan MK itu berlaku seketika setelah diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum," katanya.
Jika putusan itu berlaku seketika tapi baru berlaku pada pemilu 2019 dan seterusnya, maka Yusril mempertanyakan, keabsahan pemilu 2014 yang dilaksanakan dengan pasal-pasal UU Pemilu yang inkonstitusional.
Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) menjelaskan, MK tahu bahwa melaksanakan pemilu dengan pasal-pasal UU yang inkonstitusional, hasilnya juga inkonstitusional.
"Konsekuensinya, anggota DPR, DPD, DPRD dan Presiden serta Wapres terpilih melalui pemilu legislatif dan pemilu presiden 2014 juga inkonstitusional," katanya.
Yusril juga mengkritik MK yang dinilai berupaya menutupi inkonstitusionalitas putusannya dengan merujuk putusan-putusan senada yang telah dilakukan MK sebelumnya.
Dengan merujuk pada putusan yang dinilainya salah itu, menurut dia, MK dalam pertimbangan hukumnya, menyatakan pemilu legislatif dan pemilu presiden adalah sah, meskipun dilaksanakan dengan pasal-pasal UU Pilpres yang sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan telah dinyatakan tidak punya kekuatan hukum mengikat.
Yusril menilai, MK tampak seperti dipaksa pihak tertentu untuk membacakan putusan dari permohonan uji materi dari Effendi Ghazali yang dampak putusannya tidak seluas permohonan yang diajukannya.
Dengan dibacakan putusan dari permohonan uji materi dari Effendi Gazali, kata Yusril, maka permohonannya seolah kehilangan relevansi untuk disidangkan. "Inilah hal-hal misterius dalam putusan MK kemarin yang tetap menjadi tanda tanya yang tak kunjung terjawab sampai hari ini," tegasnya.