Ahad 03 Nov 2013 16:36 WIB

AJI Jakarta Tetapkan Upah Layak Jurnalis 2014

Dunia jurnalistik (ilustrasi).
Foto: simplyzesty.com
Dunia jurnalistik (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menetapkan upah yang dipandang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak para reporter di Jakarta pada 2014. Besaran upah itu Rp 5,7 juta per bulan.

Ketua AJI Jakarta Umar Idris mengatakan, penetapan upah untuk para jurnalis ini bersamaan dengan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) di DKI Jakarta. AJI Jakarta telah melakukan survei kebutuhan hidup layak untuk para jurnalis di Jakarta.

"Setelah menghitung berbagai kebutuhan, besaran upah layak ini kami peroleh dengan perhitungan dan analisis terhadap 39 barang dan jasa menyangkut kebutuhan hidup layak bagi seorang jurnalis di Jakarta,” jelas Umar, Ahad (3/11).

Menurut dia, komponen yang mengambil porsi terbesar adalah makanan sebesar Rp 2,1 juta per bulan. Kedua, komponen kebutuhan penunjang tugas jurnalistik sebesar Rp 1,5 juta per bulan. Sisanya adalah kebutuhan tempat tinggal dan sandang. “Upah layak itu habis untuk membiayai makanan dan kebutuhan penunjang kegiatan jurnalistik,” ujarnya.

AJI Jakarta mengimbau perusahaan media dan organisasi perusahaan media cetak, online, dan radio dan televisi untuk menjadikan upah layak ini sebagai acuan dalam memberikan upah minimal kepada jurnalis setingkat reporter, dengan pengalaman kerja satu tahun dan baru saja diangkat menjadi karyawan tetap.

Hingga saat ini, berdasarkan survei yang diselenggarakan AJI Jakarta, sebagian besar media masih memberikan upah yang jauh di bawah upah layak kepada para reporternya. Ini terjadi di media cetak, online, radio, dan televisi. Dalam survei upah jurnalis, rata-rata upah reporter di Jakarta di kisaran Rp 3 juta per bulan.

AJI Jakarta memandang tingkat upah layak ini sangat penting agar jurnalis lebih profesional dalam menjalankan tugasnya. Rendahnya upah dan kesejahteraan jurnalis membuat profesi ini akan selalu rentan terhadap godaan suap (amplop) dalam bentuk apa pun.

“Kondisi ini sangat berbahaya bagi kebebasan pers karena pers dapat dikendalikan oleh kepentingan narasumber. Tidak lagi mengabdi kepada kepentingan publik,” tegas Umar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement