REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2013 tentang penyelamatan dan penguatan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai tidak tepat.
"Sebab Perppu itu cenderung tidak demokratis. DPR saat menjawab Perppu hanya menjawab menerima dan menolak tanpa argumentasi," kata anggota Komisi III Fraksi PKS, Nasir Djamil ketika dihubungi Republika, Jum'at (18/10).
Ketimbang mengeluarkan Perppu, Nasir justru menyarankan presiden untuk menyiapkan draft revisi UU MK. Revisi ini misalnya menyangkut mekanisme pengisian posisi hakim MK yang berhalangan tetap.
Nasir menangkap kesan Perppu sengaja dikeluarkan pemerintah untuk menjegal orang partai politik mengisi posisi yang ditinggalkan Akil Mochtar. "Jadi memang ada kesan pemerintah takut kalau yang menggantikan akil berasal dari parpol juga. Makanya untuk menghambat itu dikeluarkan Perppu," ujarnya.
Menurut Nasir, tidak selamanya orang politik buruk dalam memimpin lembaga hukum. Dia misalnya mencontohkan kepemimpinan Mahfud MD di MK.
Menurutnya, meskipun Mahfud berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa, namun Mahfud terbukti berhasil memimpin MK. "Mahfud orang parpol bagus kok? Jadi kembali kepada pribadinya sendiri," katanya.
Rekan satu fraksi Nasir di Komisi III, Aboe Bakar Alhabsy menjelaskan Perppu MK tidak pas karena tiga konten yang terdapat dalam Perppu lebih cocok diatur dalam revisi UU MK.
"Tiga konten yang berkaitan dengan, persyaratan hakim MK, penjaringaan dan seleksi, serta pengawasan hakim MK lebih cocok diatur dalam revisi UU MK," ujarnya.
Aboe Bakar melihat belum ada urgensi yang mendesak bagi presiden mengeluarkan Perppu. Hal ini karena menurutnya MK masih berjalan normal dengan delapan hakim konstitusi yang ada.
"Belum ada hal ikhwal yang memaksa yang menyebabkan kelumpuhan MK, yang pada kondisi tersebut menuntut presiden mengeluarkan Perppu," katanya.