REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana juga akan menjerat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) nonaktif, Akil Mochtar dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Keputusan tersebut akan ditentukan dalam gelar perkara yang rencananya akan dilakukan pada Jumat (11/10) ini. "Kemungkinan penerapan TPPU harus dilihat dari hasil temuan yang saat ini masih dilakukan," kata Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas dalam pesan singkat kepada wartawan, Kamis (10/11).
Busyro menambahkan KPK akan terus memburu aset-aset milik Akil Mochtar yang patut diduga berasal dari tindak pidana. Tim penyidik juga akan melihat rasionalitas antara pendapatan Akil sebagai hakim dan Ketua MK dengan harta kekayaannya.
Informasi yang diperoleh Republika, rencananya gelar perkara akan dilakukan pimpinan KPK pada Jumat (11/10) besok. Gelar perkara ini untuk memutuskan apakah Akil dapat disangkakan dengan pasal-pasal di UU TPPU.
Jika semua unsurnya terpenuhi, maka mantan politikus Partai Golkar itu tak hanya menjadi tersangka kasus tindak pidana korupsi, tapi juga jadi tersangka tindak pidana pencucian uang. Saat ini Akil menjadi tersangka untuk kasus suap dalam penanganan sengketa Pemilukada di MK.
Terdapat dua sengketa pemilukada yang diduga memberikan suap kepada Akil yaitu sengketa pemilukada di Kabupaten Gunung Mas dan Kabupaten Lebak.
Barang bukti uang yang diberikan kepada Akil yaitu uang dalam bentuk Dolar AS dan Dolar Singapura sekitar Rp 3 miliar terkait pemilukada di Gunung Mas dan uang sebesar Rp 1 miliar untuk pemilukada di Lebak.
Juru bicara KPK, Johan Budi SP mengatakan penerapan pasal TPPU untuk Akil Mochtar sangat mungkin dilakukan, sepanjang penyidik menemukan bukti-bukti permulaan terjadinya pencucian uang. Meski ia terus berkelit hingga saat ini tim penyidik belum ada kesimpulan untuk juga menjerat Akil dengan pasal-pasal TPPU.