REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai bersifat terbatas.
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menjelaskan, kondisi keluarnya Perppu adalah kejadian luar biasa karena presiden harus mengambil langkah cepat.
Saat kondisi sudah kembali seperti semula, Yusril berpendapat, presiden harus segera menyampaikan Perppu ke DPR untuk mendapat persetujuan parlemen. Jika disetujui, Perpu tersebut disahkan menjadi undang-undang. Jika ditolak, Perpu harus dicabut dan tidak berlaku lagi.
"Sebab itu, daya berlaku Perpu adalah terbatas,"ujar Yusril lewat pesan singkat kepada RoL, Senin (7/10). Meskipun kedudukan Perpu setara dengan undang-undang, Yusril berpendapat MK tidak berwenang menguji Perpu.
Menurutnya, kalau ada yang memohon uji materi Perppu tersebut, MK harus menunggu sampai Perppu itu disahkan menjadi undang-undang.
Pada prinsipnya, Yusril menilai, MK berwenang menguji undang-undang kalau ada yang mohon pengujian. Menurutnya, MK tidak bisa berinisiatif menguji undang-undang. "MK itu pasif tidak boleh proaktif. Jadi, kalau tidak ada yang mohon pengujian, Perpu yang telah disahkan menjadi UU itu tidak bisa diapa-apakan oleh MK."
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelumnya menyampaikan sedang menyiapkan Perpu terkait MK. SBY menjelaskan, Perpu tersebut akan mengatur tentang prosedur seleksi hakim konstitusi yang memimpin MK.
Inisiatif presiden ini dilakukan setelah adanya operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap mantan ketua MK Akil Mochtar yang diduga terlibat kasus suap terkait penanganan perkara sengketa pemilihan umum kepala daerah (Pemiulkada) Lebak dan Gunung Mas.