REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan adanya pembahasan revisi Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) secara diam-diam dan akan diselesaikan pada akhir Oktober 2013 ini.
Pembahasan ini juga untuk menghindari kritik karena meniadakan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
"Sengaja atau tidak, RUU KUHAP terkesan meniadakan KPK dan Pengadilan Khusus Tipikor. Ini dapat dilihat dari tidak adanya penyebutan lembaga lain di luar Kejaksaan, Kepolisian, dan Pengadilan (Negeri, Tinggi dan Mahkamah Agung). Ini dapat menimbulkan polemik atau multitafsir di kemudian hari," kata salah satu anggota badan pekerja ICW, Emerson Yuntho dalam siaran pers yang diterima Republika, Selasa (1/10).
Emerson memaparkan dalam RUU KUHAP juga memberikan kewenangan luar biasa bagi Hakim Pemeriksa Pendahuluan (Hakim Komisaris) untuk lanjut atau tidaknya penuntutan, penyitaan dan penyadapan dalam suatu proses pidana (termasuk kasus korupsi).
Hakim Komisaris juga punya kewenangan menangguhkan penahanan tersangka atau terdakwa, dengan jaminan uang atau orang.
Ia menilai ada beberapa pasal dari pembahasan revisi KUHAP yang bermasalah. Misalnya pasal 240 RUU KUHAP yang menyebutkan putusan bebas tidak dapat dikasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Kemudian pada pasal 250 RUU KUHAP intinya menyebutkan Putusan Mahkamah Agung mengenai pemidanaan tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi.
Selain itu, RUU KUHAP juga tidak mengakomodir ketentuan apabila pelaku kejahatan atau korupsi adalah korporasi atau perusahaan. "Secara subtansial, terdapat sembilan ketentuan dalam RUU KUHAP yang berpotensi melemahkan KPK dan upaya pemberantasan korupsi," ungkapnya.
Langkah DPR untuk menyegerakan pengesahan RUU KUHAP dan RUU KUHP yang dalam sejumlah ketentuannya mengandung upaya pelemahan terhadap KPK, ia melanjutkan, patut dicurigai dan ini bukan tanpa alasan.
Berdasarkan catatan KPK, sudah ada 65 politisi Senayan yang telah diproses hukum KPK, beberapa di antaranya telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan menjalani pidana sebagai koruptor.
Langkah penyidikan KPK dianggap merusak sumber pendanaan individu politisi atau partai politik untuk Pemilu 2014.
Maka itu, ICW meminta agar DPR menghentikan proses pembahasan RUU KUHAP dan KUHP serta mengembalikannya kepada pemerintah untuk diperbaiki. Regulasi ini seharusnya diperbaharui agar memberikan dukungan yang lebih bagi upaya pemberantasan korupsi.
"Kami juga meminta pemerintah untuk melakukan penarikan naskah RUU KUHAP dan RUU KUHP yang dianggap tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi dan eksistensi KPK," kata Emerson menegaskan.