REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imbauan Gubernur Aceh Zaini Abdullah soal larangan pengibaran bendera Aceh selama masa tenang atau cooling down, disambut baik pemerintah.
"Kami sangat mengapresiasi upaya itu," kata Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Restuardy Daud, di Jakarta, Kamis (1/8). Kemendagri dan Pemerintah Aceh kembali memperpanjang masa penangguhan pembahasan evaluasi Qanun No 3 Tahun 2013 hingga 15 Oktober mendatang.
Penambahan masa tenggang ini dikarenakan belum adanya kata sepakat di antara keduanya soal lambang dan bendera Aceh yang ditegarai mirip dengan atribut Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Menurut Restuardy, imbauan Zaini merupakan langkah tepat dalam menjaga ketertiban dan suasana yang kondusif. "Tidak saja di Aceh, tetapi juga untuk Indonesia secara umum," ujarnya.
Sebelumnya, sempat mencuat kabar soal adanya rencana pengibaran bendera Aceh dalam rangka peringatan delapan tahun perdamaian RI-GAM, 15 Agustus mendatang. Namun, isu tersebut kemudian dibantah oleh gubernur Aceh.
"Kami minta bendera itu tidak dikibarkan dulu. Jangan sampai ada kegiatan-kegiatan yang dapat merusak arti kesepakatan yang telah diambil bersama-sama," tutur Zaini usai menghadiri pertemuan dengan Kemendagri di Jakarta, Rabu (31/7) kemarin.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat (Humas) Pemprov Aceh, Nurdin F Joes menuturkan, larangan gubernur tersebut mesti ditaati semua masyarakat Aceh. Menurutnya, sekarang ini belum lagi saatnya untuk mengibarkan bendera daerah Aceh.
"Karena proses kesepakatan dengan pemerintah pusat masih berjalan," katanya.
Nurdin meminta agar masyarakat tidak bertindak sendiri-sendiri dengan tetap mengibarkan bendera yang masih kontorversial itu. “Kami menginginkan masyarakat menaati imbauan gubernur. Kalau kedapatan ada yang melanggar, akan dikenakan sanksi," ujarnya tanpa menyebutkan secara rinci sanksi tersebut.
Seperti diketahui, pemerintah keberatan dengan penggunaan lambang dan bendera GAM sebagai lambang dan bendera Aceh. Pasalnya, hal ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah.
Dalam aturan itu ada larangan penggunaan atribut yang berhubungan dengan separatisme. Sebaliknya, DPR dan Pemerintah Aceh justru beranggapan, kedua atribut itu sudah sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat di daerah itu.