REPUBLIKA.CO.ID,BANDA ACEH--Rabithah Thaliban Aceh (RTA) meminta ulama dan Pemerintah Aceh untuk mengkaji kembali lambang "Buraq" sebagai lambang daerah Aceh seperti tertera dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2013.
"Kami berharap partisipasi ulama mengkaji kembali lambang Buraq. Apakah lambang Buraq itu sesuai dengan semangat dan cita-cita keislaman rakyat Aceh," kata Ketua Departemen Riset RTA Teuku Zulkhairi di Banda Aceh, Rabu.
Ia menjelaskan, secara historistis tidak ada referensi yang otentik dalam sejarah Islam bahwa Buraq itu berkepala wanita. Buraq hanya dimaknai sebagai kenderaan yang terbangnya secepat kilat. Buraq dalam bahasa Arab berasal dari kata-kata "barq" yang bermakna kilat, kata dia menjelaskan.
"Sejauh penelusuran kami Buraq yang tidak nyata sebagai binatang itu ilustrasinya yang dikenal sekarang itu mengandung unsur kisah Israiliyat," kata dia.
Menurut dia, Pemerintah Aceh dan DPRA tahu sejarah tentang Buraq itu. Karenanya jangan sampai lambang Aceh kontradiksi dengan semangat keIslaman masyarakat Aceh.
Persoalan lambang apa yang bisa dipakai sebagai penggantinya, Zulkhairi mengatakan Pemerintah Aceh dan DPRA bisa berkoordinasi dengan jajaran ulama besar di Aceh.
"Pemerintah Aceh dan DPRA harus siap mendengar masukan dari ulama karena sejarah keemasan Aceh diukir dengan relasi mesra dan kritis antara ulama dan umara," kata dia menambahkan.
Apalagi, ujarnya menambahkan Aceh juga tidak bisa dipisahkan dari kontribusi ulama. Bahkan, dukungan dan partisipasi ulama maka perjuangan Aceh sejak penjajahan Belanda hingga era perdamaian dalam bingkai NKRI bisa terus berlanjut.
"Masukan itu kami maksudkan sebagai upaya 'fastabiqul khairat dan ta'wwanu `alal birri wattaqwa'. Artinya berlomba-lomba dalam kebaikan dan saling tolong menolong atas kebaikan dan taqwa," kata Ketua Departemen Riset RTA Teuku Zulkhairi itu.
Menurut dia, semua mencintai Aceh dan siap berjuang membawa provinsi ini menuju kejayaan tanpa simbol-simbol dan semangat di luar Islam, menuju Aceh baru yang sedang dibangun.