REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu penggugat UU Migas, KH Hasyim Muzadi, mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut landasan keberadaan dan kewenangan Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).
Hasyim di Jakarta, Selasa (13/11), mengatakan semangat gugatan terhadap UU No. 22 Tahun 2001 yang antara lain mengatur pengelolaan minyak dan gas bumi oleh BP Migas, sebenarnya untuk mengembalilan kedaulatan negara dalam mengelola minyak dan gas buminya sendiri.
"Karena UU No. 22 Tahun 2001 tidak memungkinkan negara mengolah minyak mentahnya sendiri di dalam negeri, kemudian mengekspornya ke luar negeri," kata mantan Ketua Umum PBNU itu.
Kenyataan yang terjadi selama ini, kata dia, Indonesia hanya menjual minyak mentah kemudian diolah di luar negeri.
"Selanjutnya Indonesia membeli minyak tersebut yang sesungguhnya minyaknya sendiri dengan harga minyak dunia. Itu pun penjualan dan pembelian melalui perantara," kata Hasyim.
Menurut dia, setiap ada kenaikan harga minyak dunia, Indonesia selalu mengalami kegoncangan. "Dan karena dahsyatnya kegoncangan itu, di Indonesia berkali-kali harus terjadi aparat yang berhadapan dengan rakyatnya sendiri," kata Hasyim.
Padahal, lanjutnya, kalau minyak tersebut dikelola sendiri, dan Indonesia kembali menjadi negara pengekspor minyak, justru akan ada keuntungan dari kenaikan harga minyak dunia. Lebih lanjut Hasyim mengatakan, setelah keputusan MK, pemerintah harus bisa menyelesaikan persoalan tersebut dengan baik.
"Pengelolaan selanjutnya haruslah dapat menangkap semangat kemandirian dan tidak melakukan hal yang sama seperti nuansa UU 22 Tahun 2001 itu, tentu sambil menunggu proses lahirnya UU baru oleh parlemen," katanya.
Soal ikatan kontrak Indonesia dengan pihak asing, menurutnya, pemerintah mesti bisa menyelesaikan melalui aturan bisnis internasional. "Sampai di sini kita harus hati-hati karena di DPR bisa bertele-tele. Adakah semangat kemandirian di parlemen kita?" katanya.
Dikatakannya, menurut penelitian sebagian peneliti ekonomi Universitas Indonesia (UI), tidak kurang dari 20 UU yang menyangkut kebutuhan vital rakyat banyak yang sangat pro asing.
"Misalnya soal tanah, air, dan kandungan bumi lainnya. Seakan penjajahan ekonomi telah disahkan oleh para wakil rakyat kita sendiri," tuturnya.
Lebih lanjut, pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam Malang dan Depok ini mengatakan, Indonesia tidak perlu mengobarkan anti-asing karena globalisasi sudah menghapus eksklusivisme.
"Namun adalah kecerobohan sejarah kalau semuanya diserahkan ke asing. Oleh karenanya, keputusan MK ini harus dikawal sampai dengan lahirnya UU baru yang pro Indonesia. Bukan hanya oleh para pemohon (penggugat) tapi seluruh rakyat Indonesia yang memang tulus pro Indonesia," katanya.
Seperti diberitakan, MK memutuskan pasal yang mengatur tentang tugas dan fungsi BP BP Migas dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak punya hukum mengikat.
"Seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua Majelis Hakim MK Mahfud MD saat membacakan putusan pengujian UU Migas di Jakarta, Selasa.
MK juga menyatakan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 dalam UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.