REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Belakangan ini berkembang wacana pencopotan menteri-menteri yang berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pasca-penolakannya rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Bagi Wakil Ketua DPR, Pramono Anung, pernyataan para politisi koalisi di sekeliling Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena 'kesusu' ingin menjadi menteri.
"Saya lihat banyak sekeliling Pak SBY, baik partainya Pak SBY maupun bukan partainya Pak SBY kebelet semua jadi menteri. Jadi ramai lah," kata dia di Gedung DPR, Jakarta, Senin (9/3).
Menurutnya, presiden tidak perlu didorong atau ditarik untuk memecat PKS. Apalagi hanya karena ada orang-orang yang ingin menterinya bertambah.
Padahal, lanjutnya, menambah dan mengurangi menteri merupakan kewenangan sepenuhnya presiden. Ini sebagai konsekuensi dari sistem presidensil yang dianut. Sehingga, presiden mendapat legitimasi secara langsung dari rakyat.
"Buat saya pribadi, seperti percintaan ABG saja. Mau putusin atau mau terus. Yah tergantung presiden. Presiden sudah tahu bagaimana cara memutuskan," papar politisi PDI Perjuangan tersebut.
Karenanya, ia pun mendorong agar segera diputuskan. Jadi tidak perlu menunggu waktu yang lama. Termasuk tidak perlu juga presiden mendelegasikan kewenangan itu kepada siapa pun. "Termasuk katakan lah partai tertinggi untuk umumkan. Ini kan kewenangan sepenuhnya ada di presiden, dan ini ditunggu oleh rakyat," tuturnya.
Ia mengatakan, hanya presiden yang memiliki legitimasi dari rakyat. Sementara setgab hanya bagian kecil dari itu. Karenanya, jika memang masih nyaman dengan PKS atau sebaliknya, itu keputusan SBY.