Rabu 07 Sep 2011 20:10 WIB

Paradoks Gelar Doktor HC bagi Raja Arab Saudi dan Derita TKI di Negaranya

Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz
Foto: society.ezinemark.com
Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz

Universitas Indonesia (UI) menganugerahkan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa (HC) di bidang perdamaian dan kemanusiaan kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz, pada Ahad 21 Ramadhan 1432 H, yang diberikan langsung oleh Rektor UI, Prof. Dr. der. Soz Gumilar Rusliwa Somantri di Istana Al-Safa Arab Saudi.  

Raja Abdullah menerima gelar tersebut karena dianggap berhasil memajukan Arab Saudi hingga menjadi pusat peradaban Islam moderat, mewujudkan kesetiakawanan negara Arab dan upaya kerasnya dalam merealisasikan perdamaian di Palestina. Selain itu, Raja Abdullah juga dianggap berhasil mempromosikan dialog antar penganut agama untuk menciptakan perdamaian dunia dan menyerukan para pemimpin Islam dan non Islam untuk menghapus stereotipe teroris kepada agama Islam. Dan yang tidak kalah penting menurut Rektor UI dalam pidatonya adalah peran Raja Abdullah pada masalah kemanusiaan dan kemajuan iptek.

Pemberian gelar doktor honoris causa bidang kemanusiaa dan kemajuan iptek oleh Rektor UI kepada raja Arab Saudi Abdullah pada Ahad lalu yang disebut sebagai Black Sunday menuai protes dari berbagai kalangan, mulai dari anggota DPR RI sampai kepada kelompok guru besar UI sendiri. Seharusnya yang bakal protes lebih keras lagi adalah para kelompok Tenaga Kerja Indonesia  (TKI) yang bekerja/pernah bekerja di Arab Saudi. Bahkan sebagai bangsa bermartabat tentunya kita sebagai bangsa Indonesia terluka hatinya melihat pemberian gelar doktor honoris cause tersebut melihat penderitaan TKI di Arab Saudi, yang melampaui batas peri kemanusiaan.

Sejumlah guru besar Universitas Indonesia (UI) menyatakan protes kerasnya atas pemberian gelar doctor kehormatan yang diberikan kepada Raja Arab Saudi tersebut. Mereka menilai raja Arab Saudi belum layak mendapat penghargaan seperti itu dari universitas di Indonesia. Pemberian gelar itu sama dengan pengkhianatan terhadap bangsa dan rakyat. Sebab, di Arab Saudi sering terjadi pelanggaran HAM terhadap para TKI seperti penyiksaan, pelecehan seksual, pembunuhan, dan hukuman mati. Apalagi, pemberian gelar itu dilakukan di Arab, bukan di lingkungan kampus.

Guru Besar FE UI, Mayling Oey mempertanyakan tindakan rektor UI tersebut. Pemberian gelar itu mengatasnamakan warga UI, tapi warga UI tidak ada yang tahu. Sebagai perempuan dirinya sangat terluka karena pemberian itu tidak melihat banyaknya Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang mendapatkan perlakuan yang di luar batas kemanusiaan. Bagaimana Arab Saudi memperlakukan TKI/TKW kita secara tidak manusawi tetapi diberikan kehormatan atas nama kemanusiaan.

Menurut anggota Komisi IX DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, pemberian penghargaan akademik ini aneh, mengingat tingginya angka pelanggaran yang dilakukan warga dan pemerintah Saudi terhadap Tenaga Kerja Indonesia di negeri tersebut. Rieke mengacu kepada angka perlakuan buruk yang didapat TKW dari majikan di Saudi masih tinggi. Belum lagi jumlah terpidana asal Indonesia yang dihukum pancung maupun terancam hukuman mati. Karena itu Rieke merasa Raja Saudi tidak layak diberi gelar kehormatan akademik dari universitas manapun di Indonesia.

Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PPP, Okky Asokawati menegaskan pihaknya akan memanggil rektor UI terkait masalah ini, untuk mencari tahu apa yang melatari kenapa Rektor UI bisa memberikan gelar itu. Sejauh ini, ada beberapa keanehan dari pemberian gelar tersebut. Contohnya, berdasarkan surat keputusan rektor, seharusnya pemberian gelar kehormatan dilakukan di lingkungan kampus, bukan ditempat lain. Pemberian gelar di bidang kemanusiaan dan iptek pun perlu dipertanyakan. Sebab, apakah Raja Arab Saudi memberikan kontribusi atas dua bidang tersebut. Okky berpendapat tidak ada prestasi yang luar biasa yang diberikan Raja. Tak hanya itu, pemberian gelar pun seharusnya mendapatkan persetujuan dari Menteri Pendidikan.

Terkait dengan paradoks Gelar Doktor HC bidang Kemanusiaan dengan penderitaan TKI di Arab Saudi. Berdasarkan data per 28 Agustus 2010, tidak kurang dari 250 tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi terlantar. Mereka terpaksa harus bermukim di kolong jembatan setelah niat mereka untuk pulang ke Indonesia tidak tersampaikan lantaran tak punya biaya pulang. TKI terlantar yang kebanyakan perempuan itu mengaku tidak memiliki tempat tinggal dan terpaksa meninggalkan pekerjaannya demi menjaga kehormatan diri. Mereka mengaku seringkali mendapatkan ancaman pemerkosaan serta menerima kekerasan dari majikan tempat mereka bekerja.

Menurut Maimuna, seorang TKW di Arab Saudi, persoalan yang dialami ratusan TKI itu sangat beraneka ragam, mulai dari pemerkosaan, tidak pernah diberi gaji oleh majikannya, hingga penganiayaan berat. Ada TKI yang matanya sampai buta gara-gara disiksa. Perbuatan biadab itu sudah dilaporkan ke aparat kepolisian setempat, namun tidak ada tanggapan. Polisi di sana bukannya menolong, malah mereka juga menyepelekan wanita Indonesia.

Akibatnya, banyak TKI yang sudah pasrah dan memilih kabur dari majikan mereka. Mereka ingin menghirup udara bebas dari siksaan itu dan memilih meninggalkan negeri rantau itu dan pulang ke Indonesia. Namun, rencana pulang itu kandas di tengah jalan. Sebab, modal mereka untuk pulang ke Indonesia tidak mencukupi. Sehingga mereka terpaksa bermukim di kolong-kolong jembatan di Jeddah.

Demikian penderitaan yang banyak dialami para TKI di Arab Saudi. Secara khusus masih segar dalam ingatan kita tentang ancaman hukum pancung yang dihadapi Ruyati dan Darsem, serta banyak kasus-kasus khusus lainnya.

Demikian hebatnya tragedi kamanusaiaan yang dialmi TKI kita yaitu penuh pengorbanan pergi merantau ke Arab Saudi meninggalkan keluarganya berpisah dengan anak dan suaminya, hidup dan bekerja di negeri yang asing, apalagi kalau mendapat perlakuan biadab seperti ancaman pemerkosaan dari majikan atau keluarganya, penyiksaan dengan berbagai jenisnya mulai dari pemukulan, penyiraman air panas, dan bahkan diseterika tubuhnya, diperparah lagi dengan tidak dibayarkan gajinya. Sehingga untuk ongkos kembali ke tanah air saja tidak punya. Coba kita semua pahami dan renungkan, akan terasa luar biasa kebiadabannya. Jadi bagaimana dengan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa (HC) di bidang perdamaian dan kemanusiaan untuk Sang Raja tersebut..??? Wallahu a’lam bisshawab.

Ir. Abdul Haris, MPM

Alumnus Carnegie Mellon University, AS

 

 

__________________

Kirimkan artikel Anda ke: [email protected]. Artikel disertai identitas jelas penulis. Redaksi berhak tidak menayangkan kiriman tulisan berdasarkan penilaian redaksi

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement