REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PBB dua pekan lalu merilis laporan yang menegaskan Jakarta sebagai kota terpadat di seluruh dunia. Kepadatan penduduk di Jakarta, menurut laporan itu mencapai 42 juta orang! Jakarta menggeser Dhaka, Bangladesh dan Tokyo, Jepang sebagai kota terpadat di dunia.
Laporan PBB itu dirilis dalam laman sustaniable development goals milik PBB. Rilisnya berjudul 'Cities are home to 45 percent of the global population, with megacities continuing to grow, UN report finds'.
"Jakarta (Indonesia) is now the world's most populous city, with nearly 42 milion residents, followed by Dhaka Bangladesh with almost 40 milion, and Tokyo (Japan) with 33 milion," demikian pernyataan laporan tersebut yang dirilis 18 November.
Laporan PBB ini kontan mendapat sorotan dari pemerintah Jakarta, karena terkait jumlah warga Jakarta yang dihitung 'meledak' sampai 42 juta. Padahal perhitungan Badan Pusat Statistik Resmi Jakarta hanya seperempatnya, yakni 12 juta warga.
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung bahkan dengan keras menegaskan angka PBB itu adalah salah. "Jadi menurut saya sebenarnya kalau disampaikan Jakarta kota terpadat, salah," kata dia di Jakarta Pusat, Selasa (2/12/2025).
Benarkah demikian? Bila dirunut lagi di dalam rilis pers PBB disebutkan bahwa seluruh materi artikel terkait laporan lainnya yaitu World Urbanization Prospects 2025, yang terbit di tanggal yang sama.
Republika menelusuri laporan setebal 124 halaman tersebut. Di dalam laporan itu muncul kata Jakarta sebanyak 16 kali. Memang ada penjelasan terkait mengapa angka 42 juta warga yang diambil. Di Box 2.2 How the Degree of Urbanization changes our assessment of the world's largest cities, penulis laporan menjelaskan,
"Memang dilaporan kami disebut warga Jakarta sebanyak 42 juta orang. Tapi memang kalau dilihat mengacu pada revisi laporan World Urbanization Prospects 2018 disebutkan populasi Jakarta bakal 12 juta di 2025," demikian laporan tersebut.
BPS setempat menjadi sasaran laporan PBB itu. Menurut PBB, BPS setempat justru banyak tidak memasukkan warga komunitas di Jakarta, yang memang oleh PBB dihitung. "This is because the official national statistics for the Jakarta Metropolitan area excluded many of the densely populated communities that are contiguous to the Jakarta city centre and thus captured by the Degree of Urbanization definition," demikian laporan tersebut.
Menarik bagaimana metodologi PBB menggunakan istilah residents, inhabitants, dan communitites untuk menghitung angka 42 juta warga itu. Secara relatif kata residents digunakan untuk warga dengan legal formal bermukim di situ. Bisa jadi inilah yang membedakan model perhitungan PBB. Yang memang beralamat di Jakarta atau yang beraktivitas di Jakarta, keduanya bisa ditetapkan sebagai penduduk.
Karena umumnya diketahui jumlah penduduk Jakarta pagi-siang dan malam hari berbeda, karena adanya warga komuter dari kota di dekat Jakarta. Bisa mencapai 12 juta di pagi-siang hari, tetapi hanya delapan juta di malam hari. Di Box 2.2 itu juga dijelaskan, umumnya kota didefinisikan mengacu pada laporan pemerintah setempat. Ada negara yang mendefinisikan kota berdasarkan batas administratif. Sementara negara lain menggunakan definisi lebih luas, seperti metropolitan.
Dengan demikian, amat mungkin PBB menarik data penduduk kota lain untuk digabungkan bersama Jakarta. Kota komuter yang berbatasan dengan Jakarta adalah Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang, Tangerang Selatan. Padahal menurut BPS setempat kategorisasi warga kota amatlah spesifik mengacu pada kediaman di mana orang itu terdaftar.