Jumat 14 Nov 2025 10:48 WIB

Genjot Hilirisasi Riset, Kemendiktisaintek: Biar Penelitian tak Cuma Tersimpan di Kampus

Hasil riset diharapkan mampu diwujudkan menjadi produk komersial.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Mas Alamil Huda
Pengunjung berbincang di samping prototipe drone yang dipamerkan dalam Konvensi Sains Teknologi dan Industri Indonesia (KSTI) 2025 di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Jawa Barat, Kamis (7/8/2025).
Foto: ANTARA FOTO/Novrian Arbi
Pengunjung berbincang di samping prototipe drone yang dipamerkan dalam Konvensi Sains Teknologi dan Industri Indonesia (KSTI) 2025 di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Jawa Barat, Kamis (7/8/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Direktur Hilirisasi dan Kemitraan pada Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan Kemendiktisaintek, Yos Sunitiyoso, mengungkapkan, saat ini kementeriannya tengah berupaya melakukan hilirisasi hasil riset perguruan tinggi. Hal itu agar hasil riset tidak hanya menjadi karya tulis ilmiah yang tersimpan di kampus, tapi mampu diwujudkan menjadi produk komersial.

Yos mengungkapkan, dia dan tim Kemendiktisaintek akan berkeliling ke seluruh daerah di Indonesia. Dalam kunjungan itu, mereka akan menemui para pelaku usaha dan industri di masing-masing daerah. Kemendiktisaintek selanjutnya bakal menanyakan soal apa produk atau teknologi yang mereka butuhkan untuk aktivitas bisnisnya.

Baca Juga

Setelah menghimpun dan menyeleksi kebutuhan dunia industri, Kemendiktisaintek akan menyambungkannya ke perguruan tinggi. "Jadi kami undang peneliti-peneliti di perguruan tinggi untuk menyampaikan riset yang mereka sudah kembangkan, yang bisa memenuhi kebutuhan atau dibutuhkan dunia usaha," kata Yos ketika diwawancara awak media di sela-sela partisipasinya dalam acara Sosialisasi Program Ajakan Industri 2026 yang digelar di Gedung Gradika Bakti Praja, Kantor Gubernur Jawa Tengah, Kota Semarang, Kamis (13/11/2025).

Lewat proses tersebut, Yos berharap akan semkain banyak riset perguruan tinggi yang bermanfaat dan dapat digunakan dunia industri. "Jadi jangan sampai penelitian itu cuma tersimpan di kampus saja," ujarnya.

Yos menerangkan, setidaknya terdapat delapan sektor prioritas nasional untuk program hilirisasi riset perguruan tinggi, antara lain energi, ketahanan pangan, kemaritiman, kesehatan, dan material maju. Dalam proses agar suatu riset dapat ditingkatkan menjadi sebuah produk komersial, Kemendiktisiantek siap memberikan dukungan dana.

"Jadi modelnya nanti co-funding. Jadi industri dan kami ikut mendanai penelitian," ujar Yos.

Menurut Yos, pelaku usaha atau industri biasanya memiliki keengganan mengalokasikan investasi berskala besar untuk kebutuhan riset dan pengembangan. Hal itu karena riset dan pengembangan tidak selalu berakhir menjadi produk bernilai komersial. Riset pun mempunyai potensi atau risiko kegagalan.

Oleh karena itu, riset perguruan tinggi yang akan dipautkan dengan kebutuhan pelaku industri bukanlah riset awal atau dari nol. "Risetnya bukan riset yang baru mulai. Tapi yang sudah ada, misalnya, prototipenya. Yang sudah siap dipakai tapi belum digunakan oleh industri," ucap Yos.

Dia menambahkan, dalam pengembangan riset, pelaku industri akan turut dilibatkan dalam pendanaan. "Nanti kami memberikan dananya ke peneliti. Misalnya dapat Rp 100 jutaan, nanti industri juga perlu mendanai itu," ujarnya.

Yos menerangkan, pelaku industri atau pengusaha tidak mesti harus membantu lewat uang atau pendanaan, tapi dimungkinkan pula mendukung secara in natura atau in kind. "Misalnya alat-alatnya pakai punya kita, tapi sumber daya manusia, lab, dan materialnya pakai punya mereka," ucapnya seraya menambahkan bahwa nilai in-kind tersebut tetap harus sesuai dengan bobot kontribusi yang mesti ditanggung pelaku industri.

Kendati demikian, karena perjalanan riset menjadi sebuah produk komersial dapat berlangsung multi-tahun, pelaku industri tetap harus menggelontorkan dana. "Tahun pertama industrinya, misalnya, 50 persen in-kind plus 10 persen in-cash. Tahun kedua, misalnya, industri cash-nya lebih tinggi, 20 persen," kata Yos.

Menurut Yos masih banyak hasil riset di perguruan tinggi yang tak terserap ke dunia industri atau usaha. "Kalau kita lihat, riset yang menjadi sebuah produk, semakin lama semakin kecil," ujarnya.

Menurut Yos, terdapat beberapa faktor penyebab mengapa hanya sedikit riset perguruan tinggi yang berlanjut hingga menjadi sebuah produk komersial. Misalnya, tantangan teknologi. "Apakah teknologinya cukup andal, cukup bagus, dan bisa menjawab permasalahan?" ujarnya.

Faktor lainnya adalah apakah produk hasil riset tersebut cukup kompetitif untuk dipasarkan secara luas. "Kadang (produk hasil riset) sudah andal, bagus, tapi mahal. Karena terlalu mahal, tidak ada yang mau beli," kata Yos.

"Kalau misalnya sudah komersialisasi, menguntungkan atau tidak? Itu kan ujung-ujungnya bisnis," tambah Yos.

Menurutnya, perjalanan sebuah riset hingga berlanjut menjadi produk dan layak dikomersialisasikan seperti seleksi alam. Yos mengatakan, khusus di Indonesia, jumlahnya masih sangat rendah. "Di Indonesia mungkin hanya satu atau dua persen yang bisa menjadi sesuatu yang dikomersialisasi. Di dunia mungkin sampai 10 persen," ujarnya.

Yos mengungkapkan, angka satu hingga dua persen yang disampaikannya merupakan hasil studi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tahun 2021/2022. "Kami ingin naikkan, tidak satu atau dua persen lagi. Mungkin tiga sampai empat persen sudah bagus," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement