Selasa 09 Sep 2025 16:09 WIB

Ketika Protes Bicara, Mengapa Pejabat Publik Harus Mengedepankan Empati

Empati menuntut sensitivitas yang tinggi.

Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ) Fal. Harmonis memberikan tanggapannya mengenai pentingnya penerapan komunikasi empati, khususnya pejabat publik.
Foto: UMJ
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ) Fal. Harmonis memberikan tanggapannya mengenai pentingnya penerapan komunikasi empati, khususnya pejabat publik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, pejabat publik memiliki peran vital sebagai penyambung suara atau perwakilan dari masyarakat. Namun, kerap kali masyarakat melayangkan protes terhadap gaya komunikasi pejabat publik yang dinilai kurang berempati. Perkataan yang dianggap sepele, justru bisa berubah menjadi masalah besar ketika disampaikan tanpa mempertimbangkan perasaan lawan bicara.

Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ), Dr. Fal. Harmonis, M.Si., akan memberikan tanggapannya mengenai pentingnya penerapan komunikasi empati, khususnya pejabat publik. Menurutnya, ada perbedaan mendasar antara empati dan simpati yang sering kali disalahpahami.

Definisi Empati dan Simpati : Dua Konsep yang Berbeda

Dalam komunikasi, empati dan simpati sering kali dianggap sama, padahal keduanya memiliki makna yang berbeda. Empati berarti kemampuan untuk benar-benar menempatkan diri pada posisi orang lain.

Seorang komunikator yang berempati tidak hanya sekadar memahami perasaan orang lain, melainkan juga mencoba merasakan situasi yang dialami, seakan-akan dirinya yang berada dalam kondisi tersebut. Empati menuntut sensitivitas yang tinggi, sekaligus kesediaan untuk membayangkan dampak sebuah ucapan atau tindakan apabila berbalik kepada diri sendiri.

Sementara itu, simpati hanya sebatas rasa ikut merasakan kondisi orang lain, tanpa benar-benar menggantikan posisi tersebut. Dengan kata lain, simpati hanya mengekspresikan kepedulian, sedangkan empati menghendaki keterlibatan emosional yang lebih dalam.

Harmonis menjelaskan bahwa empati menjadi fondasi penting dalam komunikasi publik. Tanpa empati, seorang pejabat bisa terjebak dalam penggunaan diksi yang menyinggung masyarakat.

“Empati artinya mengganti posisi. Kalau kita memilih diksi yang tidak baik lalu kita sampaikan kepada publik, bayangkan bagaimana rasanya kalau kata itu kembali kepada kita,” ujarnya.

Contoh sederhana bisa dilihat ketika seseorang dengan mudah melontarkan kata-kata kasar, namun akan tersinggung jika dirinya disebut dengan istilah yang sama. Hal ini menggambarkan betapa sulitnya berkomunikasi tanpa menanamkan empati.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement