REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Sumber medis Palestina pada Selasa pagi mengumumkan kematian dua anak akibat kelaparan di Gaza. Kematian itu terjadi di utara dan selatan Gaza, menunjukkan kelaparan yang meluas di seantero wilayah yang diblokade itu.
Jurnalis Muhammad Rabah dari Gaza menyampaikan pada Republika bahwa Yousef Al-Safadi dari Jalur Gaza utara dan Abdul Hamid Al-Ghalban dari kota selatan Khan Yunis, meninggal akibat kekurangan gizi dan kelaparan.
Kematian ini menandai bahwa sejak akhir pekan lalu tak seharipun tanpa ada anak-aak Gaza meninggal kelaparan. Total yang meninggal akibat kelaparan buatan Israel di Gaza sejauh ini mendekati 100 orang.
Menurut sumber-sumber Palestina, “Rumah sakit di Jalur Gaza merawat ratusan orang dari berbagai usia yang menderita kelaparan parah dan kekurangan gizi, karena mereka berada dalam kondisi stres yang parah.” Sumber tersebut melaporkan kematian 23 warga Palestina akibat kekurangan gizi di Jalur Gaza dalam dua hari.
Sumber tersebut menyatakan bahwa terdapat 17.000 anak yang menderita kekurangan gizi parah, dan pasien juga dirawat karena stres dan kehilangan ingatan akibat kelaparan yang parah. Rumah sakit tidak mempunyai cukup tempat tidur medis dan obat-obatan untuk merawat sejumlah besar orang yang menderita kekurangan gizi parah.

Sementara, 14 syahid dan 25 terluka pagi ini akibat penembakan yang dilancarkan pasukan pendudukan Israel yang menargetkan tenda pengungsi di kamp pengungsi Shati di sebelah barat Kota Gaza, menurut sumber medis Palestina. Sumber tersebut mengkonfirmasi bahwa korban tewas dan terluka dipindahkan ke Rumah Sakit Al-Shifa di Gaza.
Mereka menambahkan bahwa beberapa anak-anak dan perempuan termasuk di antara korban tewas dan terluka, dalam pembantaian baru yang menambah serangkaian kejahatan yang sedang berlangsung terhadap warga sipil di Jalur Gaza.
Peningkatan ini terjadi sebagai bagian dari agresi Israel yang sedang berlangsung di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023, yang sejauh ini telah mengakibatkan kematian 59.029 warga, sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan, serta melukai 142.135 lainnya, menurut jumlah awal. Sejumlah korban masih berada di bawah reruntuhan dan di jalanan.
Deirdre Nunan, seorang ahli bedah ortopedi Kanada yang telah beberapa kali menjadi sukarelawan di Gaza, mengatakan kepada Aljazirah bahwa situasi di wilayah kantong yang terkepung itu “jauh lebih buruk” dibandingkan saat dia terakhir kali berada di sana pada bulan April.
“Saat ini, saya melihat kelaparan yang parah di antara rekan-rekan saya dan pasien saya… Saya melihat orang-orang yang kesulitan menjalani pekerjaan sehari-hari karena mereka tidak memiliki energi untuk melakukan tugas normal mereka,” katanya, berbicara dari Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, Gaza selatan.
“Saya melihat luka-luka mengerikan yang diderita orang-orang ketika mereka mencoba pergi dan mengambil bantuan makanan di lokasi distribusi yang berubah menjadi pembantaian dan mengakibatkan puluhan, bahkan ratusan, pasien tiba di ruang gawat darurat kami, banyak diantaranya terbunuh atau kehilangan anggota tubuh mereka akibat tembakan tersebut.”
Dia menambahkan bahwa dia telah melihat orang-orang terluka dalam serangan udara Israel dan serangan terhadap tenda-tenda mereka, dengan cedera multi-sistem dan luka bakar yang parah, dan mereka yang kekurangan gizi dan tidak memiliki kemampuan untuk “mendapatkan kalori dan protein ekstra yang biasanya mereka perlukan untuk pulih dari cedera semacam ini dan untuk bertahan hidup”.