Juli 2025 ini menandai tepat 200 tahun Perang Jawa dimulai. Perlawanan pribumi yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan berlangsung selama lima tahun ini punya dampak signifikan tak hanya terkait perlawanan terhadap kolonial Belanda namun juga soal perkembangan Islam di Indonesia. Republika menggali arsip-arsip terdahulu soal perang dahsyat yang menewaskan ratusan ribu jiwa tersebut.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat menjalani pengasingan sebagai tahanan kolonial, Pangeran Diponegoro (1785-1855) menulis autobiografi yang kemudian berjudul Babad Diponegoro.
Melalui teks yang sekarang berstatus Memory of the World versi UNESCO itu, Sang Pangeran yang bergelar Raden Mas Ontowiryo ini menuturkan perjalanan hidupnya.
Salah satu narasi dalam Babad menuturkan perihal Pangeran Diponegoro sejak berusia tujuh tahun. Dalam umur tersebut, ia diasuh nenek buyutnya, Ratu Ageng, di Tegalreja.
Kompleks Tegalreja berada sekitar tiga kilometer sebelah barat Keraton Yogyakarta. Pada 1790-an, Ratu Ageng meninggalkan Keraton menuju permukiman ini untuk menenangkan diri dari kekisruhan politik istana.
Pada waktu itu, Ratu Ageng sudah berusia 60 tahun. Adapun Diponegoro berusia sekitar enam tahun.
Sang pangeran menulis di dalam Babad. Ia mengenang nenek buyutnya itu sebagai sosok yang salehah dan berjiwa kesatria.
Ratu Ageng memang bukan perempuan biasa. Pada masa mudanya, pernah menjadi komandan regu putri pengawal raja. Selain itu, bersama dengan suaminya, Sultan Hamengkubuwono I, dia bertempur melawan Belanda hingga ditandatanganinya Perjanjian Giyanti.
Meskipun berstatus ningrat, Ratu Ageng hidup berbaur dengan masyarakat setempat. Secara tidak langsung, Pangeran Diponegoro kecil belajar kesetaraan melalui keturunan pendiri Kesultanan Bima itu.
Ratu Ageng juga memberikan teladan hidup berdikari. Dalam usia tua, sosok yang akrab dengan dunia pesantren ini tidak begitu bergantung pada Keraton.
Sawah miliknya yang diolah para petani sekitar Tegalreja mencukupi kebutuhannya. Dari ajaran Ratu Ageng pula, kata Peter Carey, Pangeran Diponegoro menjadi pribadi yang mandiri ketika dewasa. Sebagai contoh, pada awal Perang Diponegoro, sang pangeran sanggup membiayai sendiri pasukannya.
Tentu, keteladanan yang paling penting dari Ratu Ageng ialah kecintaannya pada ilmu-ilmu agama. Hal itu tak mengherankan karena perempuan ini adalah tokoh sufi. Berdasarkan riset yang dilakukan akademisi UIN Syarif Hidayatullah Prof Oman Fathurrahman, diketahui bahwa Ratu Ageng adalah seorang penganut Tarekat Syattariyah.
Berdasarkan penelitian Prof Oman atas naskah “Jav 69 (Silsilah Syattariyah)” dari koleksi Colin Mackenzie di British Library, London, Inggris, nenek buyut Pangeran Diponegoro itu disebut sebagai “Kangjeng Ratu Kadipaten.” Dalam naskah itu, nama Muslimah ini disebutkan dalam empat bait sebagai “penganut setia” Syattariyah.
Dalam konteks Kesultanan Yogyakarta, tentunya Ratu Ageng tak sendirian. Elite lainnya yang juga menjadi pengikut Tarekat Syattariyah adalah Permaisuri Hamengkubuwono II, Ratu Mas, dan ayahnya Pangeran Pakuningrat, menak keturunan Mataram yang menikah dengan anak Pakubuwono II. Demikian menurut akademisi UIN Sunan Ampel Rijal Mumazziq di laman Nahdlatul Ulama Online.

***