Juli 2025 ini menandai tepat 200 tahun Perang Jawa dimulai. Perlawanan peribumi yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan berlangsung selama lima tahun ini punya dampak signifikan tak hanya terkait perlawanan terhadap kolonial Belanda namun juga soal perkembangan Islam di Indonesia. Republika menggali arsip-arsip terdahulu soal perang dahsyat yang menewaskan ratusan ribu jiwa tersebut.
REPUBLIKA.CO.ID, MAGELANG -- Ia adalah tanda kemarahan yang bertahan nyaris dua abad. Di sebuah bangku sederhana yang teronggok di ruangan sekitar enam kali enam meter di sebuah bangunan di Jalan Diponegoro 1, Magelang, Jawa Tengah.
Ada lemari kaca membingkai kursi untuk seorang dari kayu jati tersebut. Gagang kursi tersebut agak melebar. Di bagian kanan gagang kursi terlihat tanda kemarahan itu. Tampak tiga guratan yang masih meninggalkan bekas.
Guratan itu, kisahnya ditorehkan kuku-kuku Pangeran Diponegoro, panglima Perang Jawa. Ia dikabarkan menorehkan tanda itu pada 28 Maret 1830. Geram karena mengetahui sedang dijebak dalam perundingan dengan kolonial Belanda di bangunan yang kini jadi museum tersebut.
"Perundingan tidak menemui titik temu. Saking kesalnya Diponegoro dengan Belanda, ada guratan-guratan tangannya," kata sejarawan Museum Pengabadian Diponegoro di Magelang, Sunaryo, kepada Republika.
Dalam ruangan itu tersimpan juga jubah putih besar yang dahulu digunakan Diponegoro. Ada pula satu bale kayu yang menjadi tempat Diponegoro shalat selama penahanan. Kemudian, ada taqrib atau Alquran tulisan tangan yang disebut ditulis oleh Diponegoro.

Kejadian di lokasi itu adalah rentetan yang bermula pada 1825. Diponegoro, bangsawan Keraton Yogyakarta yang bernama kecil Mustahar, kala itu disebut tak terima bahwa jalan yang dibangun Belanda menyigar makam leluhurnya di Tegalrejo.
Namun, kejadian pemicu itu sedianya hanya bagian kecil dari rerupa kebijakan kolonial yang bikin kesal pribumi. Di antaranya soal pajak jalan, pajak pertanian, dan penetrasi ekonomi etnis lain.
Terlepas dari alasan mula perlawanannya, Diponegoro yang dianggap memberontak kemudian dikepung Belanda di kediamannya pada pertengahan 1825. Ia berhasil melarikan diri dan memimpin pemberontakan hebat dengan dukungan penuh dari rakyat, kalangan ulama, serta kaum bangsawan.
Salah satu ulama yang setia mendampingi Diponegoro adalah Kiai Mojo. Ulama itu selalu menegaskan, perang Diponegoro atau perang Jawa adalah jihad yang harus dilakukan semua umat Islam melawan kolonial Belanda. Diperkuat dengan Diponegoro yang dari kecilnya dikenal sebagai Muslim taat, Islam memang jadi pelecut semangat yang hebat di sisi pribumi.

Dari Yogyakarta, perang itu meluas ke Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang, Madiun, dan daerah-daerah lain. Dihitung dengan skala apa pun, perang tersebut kemudian jadi perlawanan terbesar melawan Belanda di tanah Jawa. Ia hanya bisa diakhiri dengan pembantaian dan tipu daya terhadap Diponegoro di Magelang tersebut.
Pemerintah Hindia-Belanda menelan kerugian telak akibat peperangan melawan Pangeran Diponegoro. Diperkirakan pemerintah Hindia-Belanda harus menggelontorkan sekitar 20 ribu gulden untuk membiayai perang ini.
Dalam segi pasukan, Hindia-Belanda juga harus kehilangan sekitar 7.000 personel pasukannya. Pasukan pribumi yang wafat pada perang ini pun tak sedikit, yakni sekitar 20 ribu orang. Sedangkan warga sipil Jawa yang jadi korban diperkirakan mencapai 200 ribu jiwa.