Juli 2025 ini menandai tepat 200 tahun Perang Jawa dimulai. Perlawanan peribumi yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan berlangsung selama lima tahun ini punya dampak signifikan tak hanya terkait perlawanan terhadap kolonial Belanda namun juga soal perkembangan Islam di Indonesia. Republika menggali arsip-arsip terdahulu soal perang dahsyat yang menewaskan ratusan ribu jiwa tersebut.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Anda sekarang berdiri di salah satu ruangan yang digunakan oleh pahlawan nasional Indonesia, Pangeran Diponegoro, selama pemenjaraannya di Stadhuis Balai Kota Batavia antara 8 April-3 Mei 1830."
Begitu Peter B Carey, sejarawan Pangeran Diponegoro, membuka kisah di lantai dua sayap barat gedung Museum Fatahillah, pada 2018 silam. Ruang pameran Kamar Diponegoro tidak luas. Ruang utamanya sekira setengah lapangan bulu tangkis. Dengan dua pintu dan satu jendela menghadap ke lapangan Stadhuis.
Udara di dalam kamar pengap dan panas. Lantainya empuk, terbuat dari kayu. Belum lima menit bercerita tentang pameran, Peter Carey sudah berkeringat. Wajahnya basah. Penulis iseng bertanya ke Peter, "Apakah panasnya sama dengan dulu ketika Diponegoro?" Peter menjawab, "Ya!".
Diponegoro ternyata pernah mengeluhkan soal cuaca panas dan pengap itu. Ia tengah pulih dari malaria. Terbiasa di daerah pedalaman Jawa Tengah yang relatif sejuk, penjajah Belanda memboyong Diponegoro dan keluarga serta belasan pengikutnya ke daerah pantai yang kering.
Akademisi asal Inggris ini mengatakan, "Diponegoro protes, ini bukan kamar untuk pangeran atau tahanan negara."

Ruangan itu sedianya memang bukan ruang tahanan. Itu adalah kamar pribadi sipir penjara Stadhuis. Namun, ada aturan bila ada tahanan politik penting atau tahanan negara maka kamar tersebut menjadi penjara sementara.
Stadhuis punya beberapa ruang khusus penjara. Yang umumnya dibuka adalah di lantai dasar. Penjara yang gelap berlantai batu dingin. Di sayap barat, di bawah kamar Diponegoro ada pula ruangan penjara perempuan di bawah tanah.
Tjut Nyak Dhien (1848-1908) pernah ditahan di ruangan tersebut, 1902, sebelum dipindah ke Sumedang, Jawa Barat. Ruangannya luas, tapi langit-langitnya amat rendah. Tahanan tidak bisa berdiri tegak. Lantainya tergenang air tanah.
Belanda memang resah betul dengan pergerakan dan reputasi Diponegoro saat Perang Jawa (1825-1830). Perang ini adalah salah satu perang terberat yang harus dihadapi penjajah Belanda di Nusantara, selain Perang Aceh dan perang melawan Imam Bonjol. Padahal, Perang Jawa hanya berlangsung lima tahun.

Perang Jawa, Carey belakangan menjelaskan, punya efek yang berbeda terhadap pemerintahan kolonialisme Belanda di Indonesia, secara internasional ataupun nasional. Pertama, Carey menjelaskan, Perang Jawa terjadi di saat yang 'tepat' ketika Belanda tengah limbung secara politik dan ekonomi.
Efek Perang Inggris dan Prancis di Eropa sampai ke Nusantara saat itu. Belanda menjadi jajahan Prancis. Inggris dan Prancis tukar menukar daerah jajahan. Situasi kas Kerajaan Belanda menipis. Beban operasional di daerah jajahan membengkak. Sementara, penarikan pajak rakyat seret.