Jumat 18 Jul 2025 16:33 WIB

Brasil Kena Tarif 50 Persen, Presiden Lula Singgung Penjarakan Trump

Dia pun menggarisbawahi, Brasil dan AS telah menjalin hubungan diplomatik 201 tahun.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva.
Foto: EPA-EFE/Andre Borges
Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva.

REPUBLIKA.CO.ID, BRASILIA -- Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva mengecam keras ancaman terbaru Presiden Amerika Serikat (AS) Donald John Trump yang akan memberlakukan tarif 50 persen atas impor dari Brasil. Berbicara dalam sebuah acara pemuda di Goiania, Brasil tengah pada Kamis (17/7/2025), Lula menegaskan komitmennya untuk mempertahankan kedaulatan nasional dari campur tangan asing.

"Tidak ada orang asing yang bisa memberi perintah kepada presiden ini," ucap Lula menolak apa yang disebutnya “keangkuhan imperialistis.”

Baca Juga

Lula juga menyebutkan, insiden penyerbuan Gedung Capitol AS pada Januari 2021, yang terjadi setelah kekalahan Trump dalam pemilu, harusnya dituntaskan ke pengadilan. "Jika Trump tinggal di Brasil dan mencoba melakukan di Brasil apa yang dia lakukan di Capitol, dia pasti akan diadili dan bisa dipenjara," ucapnya.

Dia pun menggarisbawahi bahwa Brasil dan AS telah menjalin hubungan diplomatik selama 201 tahun. Karena itu, Lula menekankan bahwa tidak seharusnya ada negara lain yang ikut campur dalam urusan dalam negeri Brasil.

Brasil tercatat mengalami defisit perdagangan sebesar 410 miliar dolar AS dalam 15 tahun terakhir. Karena itu, ia geram dengan alasan Trump yang mengenakan tarif besar dengan menjadikan rivalnya pada pilpres Jair Bolsonaro sebagai alasan.

"Kami tidak menerima jika presiden mengirim email yang menyatakan bahwa jika kami tidak membebaskan (mantan Presiden Jair) Bolsonaro, maka tarif 50 persen akan diberlakukan," ucap Lula.

"Kami akan merespons sebagai negara demokratis: kami tidak menerima siapa pun ikut campur dalam urusan dalam negeri kami," ujar Lula.

Ketegangan memuncak pada Kamis lalu, ketika Trump secara terbuka menuntut agar pemerintahan Lula "mengubah arah" dan "berhenti menyerang" pendahulunya, Bolsonaro. Hal menandakan tidak adanya tanda-tanda meredanya krisis bagi kedua negara dalam waktu dekat.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement