REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menurunkan tarif resiprokal atas produk Indonesia dari 32 menjadi 19 persen belum bisa dianggap keberhasilan negosiasi dan layak dirayakan sebagai pencapaian diplomatik. Pemerintahan Presiden Prabowo sebaiknya membuka ruang negosiasi sehingga tarif itu bisa diturunkan lagi.
Apalagi skema tarif itu dikuti dengan komitmen Indonesia membeli 50 jet Boeing dan produk energi AS senilai Rp244 triliun.
"Kita memberi terlalu banyak, sementara tarif 19 persen masih tergolong tinggi dan membebani pelaku ekspor kita. Harusnya negosiasi ulang. Jangan puas dengan angka 19 persen karena itu belum mengembalikan posisi kita seperti sebelum badai tarif diberlakukan," ujar pemerhati hubungan internasional dan investasi Zenzia Sianica Ihza saat dihubungi, Rabu (16/7/2025).
Karena itu, Zenzia mendorong pemerintah untuk tetap melanjutkan negosiasi. Jangan cepat puas dengan penurunan tarif yang seolah menjadi hadiah, padahal beban terhadap ekspor nasional masih besar.
Menurut dia, jika dihitung secara keseluruhan, produk Indonesia tetap dikenai beban tarif hampir 29 persen, karena tarif dasar 10 persen yang berlaku otomatis. "Jadi sebenarnya bukan hanya 19 persen, tapi 19 ditambah 10. Itu tetap tinggi dan tidak fair," katanya.
Bagi Zenzia, masalah ini bukan semata soal angka, tetapi lebih pada strategi negosiasi yang lemah. Ia menyebut Indonesia berada dalam posisi yang sebenarnya punya leverage kuat. Permintaan Trump agar Indonesia membeli 50 jet Boeing dan invetasi energi senilai US$15 miliar menunjukkan bahwa Washington juga membutuhkan Jakarta dalam konteks ekonomi dan geopolitik.
"Kalau kita setuju beli pesawat dan investasi energi, kenapa tidak meminta tarif turun ke angka yang lebih wajar, misalnya di bawah 10 persen? Negosiasi itu harus dua arah, bukan hanya menerima dikte," ujarnya.
Zenzia menyebut, dalam merespons tekanan tarif dari Trump, beberapa negara justru mampu menunjukkan posisi tawar yang lebih kokoh. China, misalnya, secara terbuka melakukan perlawanan dengan tarif balasan. Sementara Vietnam memilih jalan diplomasi yang akomodatif, tetapi tetap menjaga kepentingan domestiknya.
"Vietnam bisa menurunkan tensi sambil menjaga keuntungan, bahkan justru mereka mampu menarik relokasi industri dari China. Kita seharusnya belajar dari itu," lanjut Zenzia.
Kebijakan tarif Trump adalah lanjutan dari pendekatan ekonomi "America First" yang diluncurkan sejak masa kampanye 2016. Di bawah semangat proteksionisme, Trump melihat tarif sebagai alat tawar utama untuk meraih kesepakatan dagang yang lebih menguntungkan bagi Amerika.
Tarif menjadi bentuk tekanan—atau dalam istilah hubungan internasional, credible threat —yang secara rasional dirancang untuk menghasilkan respons kompromistis dari negara mitra. "Sayangnya, Indonesia terlalu cepat menunjukkan sikap akomodatif tanpa memperjuangkan pengimbangan yang setara," tutur Zenzia.
Respons ideal menurut Zenzia bukanlah menolak keras atau bersikap pasrah. Yang dibutuhkan Indonesia adalah diplomasi rasional dan strategi negosiasi berimbang. Dengan pendekatan ini, kompromi masih bisa dicapai tanpa mengorbankan kepentingan nasional.
"Kita harus cermat. Tidak perlu frontal seperti China, tapi juga jangan lunak. Negosiasi perlu berpegang pada prinsip saling menguntungkan," katanya.
Penurunan tarif Trump dari 32 menjadi 19 persen memang terlihat sebagai kabar baik. Tapi jika dibaca dalam konteks keseluruhan—terutama dengan komitmen besar pembelian Boeing dan investasi energi di AS—justru menunjukkan bahwa Indonesia memberikan terlalu banyak untuk hasil yang belum sepadan.
Dia menambahkan, jika tarif bea masuk naik seperti ini selain akan menurunkan daya saing produk negara yang terdampak, sekaligus punya efek bagi konsumen akhir, yaitu warga AS sendiri. Akibat kebijakan tarif ini, harga barang impor dari Indoesia yang masuk ke AS mengalami kenaikan 19 sampai 29 persen.
“Dalam jangka panjang ini akan menjadi bumerang bagi AS, karena dunia usaha akan membebankan kenaikan tarif ini ke konsumen dalam negeri Amerika Serikat. Ini jelas akan punya dampak bagi mereka,” pungkas Zen.