Jumat 11 Jul 2025 08:23 WIB

Kejaksaan: Kerugian Negara Akibat Korupsi Minyak Mentah Membengkak Jadi Rp 285 Triliun

Riza Chalid menjadi salah satu tersangka korupsi dan kini masih di luar negeri.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Teguh Firmansyah
Eks Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Alfian Nasution mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Jaksa Agung Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Jakarta, Jumat (10/7/2025). Kejaksaan Agung RI resmi menetapkan sembilan tersangka dalam kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang pada PT. Pertamina (Persero), Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) Tahun 2018 sampai dengan 2023. Kesembilan tersangka tersebut yakni, Vice President Supply dan Distribusi Kantor Pusat PT Pertamina tahun 2011-2015 yang juga Eks Dirut PT PPN Alfian Nasution, Direktur Pemasaran & Niaga PT Pertamina Tahun 2014 Hanung Budya, Direktur Utama aktif PT Industri Baterai Toto Nugroho, Dwi Sudarsono selaku VP Crude & Product Trading ISC, Direktur Gas, Pertochemical & New Business PT. Pertamina International Shipping Arif Sukmara, Mantan SVP Integreted Supply Chain 2018-2020 Hasto Wibowo, Martin Haendra Nata selaku Business Development Manager PT Trafigura, Business Development Manager PT Mahameru Kencana Abadi Indra Putra dan Muhammad Riza Chalid Beneficial Owner (BO) PT Tangki Merak dan PT Orbit Terminal Merak.
Foto: Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kerugian negara korupsi minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina subholding bertambah menjadi Rp 285,01 triliun sepanjang 2018-2023. Nilai tersebut lebih besar dari estimasi awal penyidikan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang mengumumkan kerugian negara dalam kasus tersebut senilai Rp 193,7 triliun.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar mengatakan membengkaknya angka kerugian, karena adanya penambahan kerugian perekonomian negara.

Baca Juga

“Bahwa kerugian perekonomian negara, dan kerugian keuangan negara berdasarkan hasil penghitungan yang sudah dipastikan jumlahnya itu totalnya sebesar (Rp) 285.017.731.964.389,” kata Qohar di Gedung Bundar Jampidsus-Kejagung, Jakarta, Kamis (10/7/2025).

Qohar mengatakan, pada awal penyidikan kasus ini pada Februari 2025, tim di Jampidsus mengestimasi hitungan awal kerugian negara pada angka Rp 193,7 triliun.

“Tetapi ini, ada penambahan komponen terkait kerugian negara. Jadi ada dua komponen kerugian negara, yang pertama kerugian keuangan, dan yang kedua adalah kerugian perekonomian negara,” ujar Qohar.

Akan tetapi Qohar tak memerinci berapa besaran masing-masing komponen nilai kerugian negara tersebut. Namun begitu, Qohar menjelaskan dari dua komponen kerugian dan perekonomian negara itu, terdapat tujuh ragam perbuatan penyimpangan yang memunculkan adanya kerugian.

Di antaranya Qohar mengatakan, kerugian negara terkait adanya penyimpangan dalam perencanaan dan pengadaan ekspor minyak mentah. Kemudian, terkait adanya penyimpangan dalam perencanaan serta pengadaan impor minyak mentah.

Selanjutnya, kerugian negara akibat adanya penyimpangan dalam perencanaan dan pengadaan impor bahan bakar minyak (BBM). Lalu, kerugian negara akibat adanya penyimpangan dalam pengadaan sewa-menyewa kapal untuk pengangkutan minyak mentah dan produk kilang.

Kemudian, kata Qohar melanjutkan ditemukan juga adanya kerugian negara akibat penyimpangan dalam pengadaan sewa-menyewa terminal BBM PT Orbit Terminal Merak (OTM). Juga ditemukan adanya kerugian negara akibat penyimpangan dalam proses pemberian kompensasi pada produk pertalite atau BBM RON 90.

“Dan terakhir kerugian negara akibat adanya penyimpangan dalam penjualan solar nonsubsidi kepada pihak swasta dan pihak BUMN yang dijual di bawah harga dasar,” ujar Qohar.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement