Rabu 11 Jun 2025 14:29 WIB

Pakar: Kejagung Bisa Kejar Harta Pribadi Pemilik Sritex

Masyarakat menunggu langkah Kejagung dalam dugaan korupsi Sritex.

Dirut PT Sritex 2005-2021 Irwan Setiawan Lukminto (ISL) ditangkap Kejaksaan Agung  sebagai tersangka korupsi pemberian fasilitas kredit bank pemerintah, Rabu (21/5/2025)..
Foto: Bambang Noroyono/Republika
Dirut PT Sritex 2005-2021 Irwan Setiawan Lukminto (ISL) ditangkap Kejaksaan Agung sebagai tersangka korupsi pemberian fasilitas kredit bank pemerintah, Rabu (21/5/2025)..

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar pidana dari Uniersitas Lampung (Unila), Prof Hieronymus Soerjatisnanta, mengatakan, Kejaksaan Agung (Kejagung) harus segera mengambil langkah penyitaan aset pribadi pemilik Sritex.  Jika hanya mengejar aset perusahaan Sritex yang sudah dipailitkan, maka sulit mengembalikan kerugian negara yang besar di kasus ini.

Hal ini disampikan guru besar Unila yang biasa disapa Prof Tisna ini, menanggapi langkah Kejagung yang mengusut dugaan korupsi kasus pemberian fasilitas kredit untuk Sritex. Menurutnya, Kejagung  harus melakukan langkah-langkah taktis dalam pengembalian kerugian negara. 

Dijelaskannya, aset Sritex memang sudah menjadi harta yang dipailitkan, tetapi mereka masih memiliki harta kekayaan di luar aset Sritex.  “Misalnya rumah, rekening pribadi, aset yang dimiliki secara pribadi. Itu bisa segera disita. Jadi yang perlu dikejar adalah harta pribadi dari Sritex dan penanggung jawabnya,” papar Tisna.

Dalam fasilitas pemberian kredit ke Sritex, menurut Tisna, seharusnya bank-bank pemberi kredit tunduk pada ketentuan-ketentuan. Salah satunya capacity (kapasitas). “Kalau kita punya agunan senilai Rp.15 ribu lalu pinjam Rp 20 ribu kan tidak boleh. Tapi itu yang sering terjadi. Artinya debitur (owner Sritex) juga seringkali tidak jujur,” kata Tisna. Sehingga salah satu cara untuk mengejar pengembalian kerugian negara maka bank pemberi kredit juga harus dikejar.

Mekanisme kepailitan adalah mekanisme yang dapat digunakan oleh pengusaha untuk menghindari utang ke berbagai lembaga perbankan. “Kedua adalah  untuk menghindari aspek pidananya. Jadi kepailitan itu sudah bergeser ke arah itu,” jelas Tisna.

Karena kepailitan sudah digunakan untuk menghindari pembayaran utang dan aspek pidana, menurut Tisna, maka langkah Kejagung mengusut dugaan korupsi kasus Sritex sudah sangat tepat.  “Karena begini, aset Sritex itu berapa? pinjaman ke bank itu berapa?. Lalu apakah pinjaman itu digunakan untuk menyehatkan perusahaan itu? Ternyata gak juga, karena tetap pailit. Lalu mundul pertanyaan, pinjaman ini dikemanakan?. Di situlah unsur korupsi terjadi” ungkap Tisna.

Digarisbawahi oleh Tisna, kepailitan Sritex menjadi sarana untuk menghindari kewajiban sebagai kreditur dan ancaman pidana yang ada. “Sehingga langkah Kejagung ini menjadi langkah yang ditunggu-tunggu,” jelasnya.

Terkait dengan pengembalian kerugian negara, Tisna mengatakan, jika masalah ini didiamkan maka kerugian negara tidak akan balik. Namun jika ada proses pengusutan korupsi maka terbuka peluang pengembalian kerugian negara. “Kejagung harus segera melakukan sita aset Sritex. Buat apa hanya mengejar pidana kalau kerugian negara tidak bisa dikembalikan,” kata Tisna.

Diakuinya, upaya mengembalikan kerugian negara ini tidak mudah. Penyebabnya, kata Tisna, Sritex sudah masuk proses pailit. “Aset kekayaan Sritex sudah menjadi aset yang dipailitkan (bundel pailit),” jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement