Rabu 14 May 2025 04:22 WIB

Kemenlu AS: Donald Trump dan Pangeran MBS Diskusikan Pengakhiran Perang di Gaza

Donald Trump tidak akan mengunjungi Israel selama kunjungannya di Timur Tengah.

Presiden AS Donald Trump.
Foto: EPA
Presiden AS Donald Trump.

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Meski Presiden AS Donald Trump tidak akan mengunjungi Israel dalam kunjungan kenegaraannya di Timur Tengah pekan ini, kemungkinan ia bersama para pemimpin Arab akan mendiskusikan pengakhiran perang di Gaza. Menurut Kementeri Luar Negeri AS kepada television Saudi, Al-Sharq, Washington dan Riyadh akan meneken perjanjian-perjanjian penting selama kunjungan Trump.

"Kami akan mendiskusikan dengan Riyadh terkait mengakhiri perang di Gaza," demikian keterangan Kemenlu AS dilansir Ynet, Selasa (13/5/2025).

Baca Juga

Berdasarkan laporan Reuters, normalisasi antara Arab Saudi dan Israel tidak akan didiskusikan dan tidak akan menjad prekondisi dari sebuah kesepakatan AS membantu Riyadh dalam mengembangkan program nuklir untuk kepentingan sipil. Tetap menempatkan Israel di luar agenda kunjungannya mengindikasikan prioritas Trump, yang mana telah didemonstrasikannya beberapa hari ini.

Diketahui, AS baru saja bernegosiasi secara langsung dengan Hamas terkait pelepasan sandera berkewarganegaraan AS dan menuntut pembukaan kembali pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza. Trump juga belum lama ini mengumumkan kesepakatan gencatan senjata dengan militan Houthi di Yaman, namun tidak memasukkan tuntutan agar Houthi menghentikan serangan misil ke Israel dalam kesepakatannya.

Washington juga telah memulai negosiasi dengan Iran terkait program nuklir Teheran, yang bisa berujung pada sebuah keepakatan yang kemungkinan berdampak buruk bagi Israel dan membuat Teheran tetap bisa mengembangkan senjata nuklir sementara AS mencabut sanksi-sanksinya.

Menurut laporan Reuters, militer AS pun telah mengganti pesawat pengebom B-2 dengan pesawat lain di pangkalan militer di Diego Garcia. "Pesannya adalah bahwa untuk Trump, negara-negara Teluk adalah teman yang lebih baik dan lebih kuat dibandingkan Israel di bawah pemerintahan saat ini," kata peneliti lembaga Atlantic Council kepada Associated Press.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement