REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan mantan kabadiklat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sebelumnya, Zarof Ricar telah menyandang status tersangka permufakatan jahat dalam kasus dugaan suap vonis bebas Ronald Tannur.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai, kerja Kejagung dalam membongkar kasus rasuah sudah sepatutnya diapresiasi. Kendati begitu, ia mengingatkan agar Kejagung tidak terlena.
"Ya perlu diapresiasi, asal jangan sering tergoda lagi dengan kewenangan besar di tangan kejaksaan. Ingat pepatah power tends to corrupt," ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Selasa (29/4/2025).
Fickar menilai, pendekatan hukum yang digunakan Kejagung dengan menjerat tersangka dengan pasal TPPU merupakan hal yang sah dan lazim. Dakwaan itu, sambung dia, seperti jaring dalam menjerat pelaku rasuah. "Artinya jika tidak kena atau perbuatannya tidak menenuhi satu unsur dakwaan, maka ada dakwaan lain yang menjeratnya," ucapnya.
Namun demikian, menurut Fickar, yang lebih penting lagi jumlah uang dan emas yang dijadikan barang bukti dalam perkara Zarof Ricar menunjukkan, tindak pidana itu kemungkinan besar telah terjadi jauh sebelum yang bersangkutan pensiun. Sehingga, Kejagung perlu menelusuri asal usul aliran uang tersebut.
"Karena itu, dakwaan tindak pidana korupsi (tipikor) juga menjadi penting," ujar Fickar. Kejagung menambahkan pasal TPPU untuk menjerat Zarof Ricar.