REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) komplain atas kebijakan pemerintah yang membatasi kepemilikan asing di Indonesia. Mereka protes dan menjadikan aturan itu sebagai salah satu hambatan hingga Indonesia dikenakan tarif resiprokal oleh Presiden Donald John Trump.
Dalam Laporan Perkiraan Perdagangan Nasional 2025 tentang Hambatan Perdagangan Luar Negeri AS, menyoroti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 56/03/2016 membatasi kepemilikan bank tidak lebih dari 40 persen oleh satu pemegang saham, yang berlaku untuk pemegang saham asing dan domestik. Dalam kasus tertentu, OJK dapat memberikan pengecualian terhadap aturan umum ini.
"Berdasarkan Peraturan OJK No. 12/POJK.03/2021, OJK meningkatkan batasan ekuitas asing untuk bank umum menjadi 99 persen dengan penilaian sebelumnya dari unit pengawas perbankan di OJK. Bank sentral Indonesia, Bank Indonesia (BI), membatasi kepemilikan asing di perusahaan pelaporan kredit swasta hingga 49 persen berdasarkan Surat Edaran BI No. 15/49/DPKL," begitu isi dokumen tersebut dikutip Republika.co.id di Jakarta, Ahad (20/4/2024).
Berdasarkan Peraturan BI Nomor 18/40/PBI/2016 tentang operasi pemrosesan transaksi pembayaran, BI membatasi kepemilikan asing atas perusahaan pembayaran hingga 20 persen (tetapi mengecualikan investasi yang ada yang melebihi batasan ekuitas asing ini). Peraturan BI No. 19/08/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) mewajibkan seluruh transaksi debit dan kredit ritel domestik diproses melalui lembaga switching GPN yang berlokasi di Indonesia dan memiliki izin dari BI.
"Peraturan tersebut memberlakukan pembatasan kepemilikan asing sebesar 20 persen bagi perusahaan yang ingin memperoleh izin switching untuk berpartisipasi dalam GPN, yang melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi kartu debit dan kredit ritel domestik. Peraturan BI No. 19/10/PADG/2017 mengamanatkan agar perusahaan asing membentuk perjanjian kerja sama dengan switch GPN Indonesia yang memiliki izin untuk memproses transaksi ritel domestik melalui GPN," demikian isi dokumen itu.
BI harus menyetujui perjanjian tersebut, dan peraturan tersebut mengharuskan persetujuan bergantung pada perusahaan mitra asing yang mendukung pengembangan industri dalam negeri, termasuk melalui transfer teknologi. Berdasarkan Peraturan BI Nomor 21/2019, Indonesia menetapkan standar nasional yanag disebut QRIS atau Quick Response Code Indonesian Standard untuk seluruh pembayaran yang menggunakan kode QR di Indonesia.
"Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank, mencatat kekhawatiran bahwa selama proses pembuatan kebijakan kode QR BI, pemangku kepentingan internasional tidak diberi tahu tentang sifat perubahan potensial atau diberi kesempatan untuk menjelaskan pandangan mereka tentang sistem tersebut, termasuk bagaimana sistem tersebut dapat dirancang untuk berinteraksi paling lancar dengan sistem pembayaran yang ada. Indonesia menerbitkan Peraturan BI Nomor 22/23/PBI/2020, yang berlaku mulai Juli 2021, untuk mengimplementasikan Cetak Biru Sistem Pembayaran BI 2025," kata dokumen tersebut.
Peraturan tersebut menetapkan kategorisasi berbasis risiko untuk aktivitas sistem pembayaran dan sistem perizinan. Peraturan tersebut menerapkan batasan kepemilikan asing sebesar 85 persen untuk operator layanan pembayaran nonbank, yang juga dikenal sebagai perusahaan pembayaran front-end, tetapi investor asing hanya boleh memiliki 49 persen saham dengan hak suara.