Ahad 22 Jun 2025 06:51 WIB

Sembilan Catatan Sarbumusi terkait Satgas PHK

Sarbumusi mendorong pemerintah perluas lapangan pekerjaan.

Ilustrasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Foto: Republika/Daan Yahya
Ilustrasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Lembaga Bantuan Hukum Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (LBH Sarbumusi) prihatin atas gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang kini melanda berbagai sektor di Indonesia, mulai dari manufaktur, digital, hingga tekstil dan startup – yang tidak hanya mengorbankan para pekerja formal, melainkan pekerja non-formal dan informal.

Data PHK teraktual menunjukkan skala krisis yang memprihatinkan: Per bulan Mei 2025, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mengungkapkan jumlah PHK mencapai 26.455 kasus. Provinsi yang menyumbang kasus PHK paling tinggi adalah Jawa Tengah. Berbeda dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang mencatat jumlah PHK telah mencapai 73.992 kasus per bulan maret 2025. Apindo bahkan memproyeksikan bahwa lebih dari 250.000 pekerja akan terkena PHK sepanjang 2025.

Baca Juga

Jumlah data tersebut linear dengan kenaikan jumlah klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) BPJS Ketenagakerjaan pada 2025 yang secara rata-rata jauh lebih besar dari 2022-2024. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengungkapkan, klaim JKP selama hingga April 2025 mencapai 52.850 klaim (13.210 klaim JKP/bulan).

Kami berpandangan, krisis PHK ini bukan hanya soal statistik, melainkan dampak sistemik yang menggerus kepercayaan masyarakat. Bank Indonesia, pada Mei 2025, telah mengingatkan bahwa tren PHK ini bisa menjadi rem darurat bagi pertumbuhan nasional.

Reaktif Tanpa Antisipatif

Alih-alih mengevaluasi sistem ketenagakerjaan dan membenahi iklim industri, Pemerintah secara reaktif justru kembali mengambil jalan pintas simbolik dengan menginisiasikan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional (DKBN) sebagai dalih aspiratif menyikapi gelombang PHK.

LBH Sarbumusi melihat respons pemerintah melalui pembentukan Satgas PHK dan DKBN sebagai langkah populis dan tidak menyentuh jantung persoalan struktural. Berikut 9 catatan evaluatif LBH Sarbumusi terhadap inisiasi reaktif tersebut:

Pertama, sindrom satganisasi dan ketidakpercayaan diri pemerintah

Pembentukan Satgas PHK adalah gejala "sindrom satganisasi"—respons populis jangka pendek untuk menambal masalah sistemik. Ini secara telanjang menandakan bahwa pemerintah tidak percaya diri terhadap birokrasi ketenagakerjaan yang dimiliki negeri ini, padahal Kementerian Kemenaker memiliki struktur berjenjang secara nasional hingga tingkat kabupaten/kota se-Indonesia.

Kedua, redundansi kelembagaan dan tumpang tindih kewenangan

Karakteristik DKBN tumpang tindih dengan Lembaga Kerja Sama Tripartit, Dewan Pengupahan, dan Komite Jaminan Sosial Nasional. Sementara itu, Satgas PHK turut menduplikasi kerja Pengawas Ketenagakerjaan dan mediator hubungan industrial. Alih-alih mengevaluasi dan memperkuat sistem kelembagaan yang sudah ada, langkah ini justru memperlemah kejelasan struktur dan memboroskan anggaran negara yang saat ini gencar melakukan efisiensi. Pasal 175 dan 176 UU Ketenagakerjaan secara tegas telah menetapkan pengawasan dan pembinaan ketenagakerjaan sebagai tugas pemerintah melalui pejabat pengawas ketenagakerjaan pusat hingga daerah.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement