REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Rencana Presiden Prancis Emmanuel Macorn mengakui kedaulatan Palestina dalam waktu dekat menimbulkan guncangan di Israel. Bagaimana sedianya sejarah hubungan kedua entitas tersebut?
Prancis punya sejumlah peran penting, baik langsung maupun tak langsung dalam berdirinya negara Zionis. Salah satu yang paling utama adalah skandal yang melibatkan seorang perwira Prancis keturunan Yahudi, Alfred Dreyfus pada 1894.
Ia kala itu dituding melakukan makar dengan membocorkan rahasia militer ke Kedubes Jerman di Paris. Sempat dibuang ke Guyana dan dipenjarakan selama lima tahun, belakangan terbukti bahwa bukan Dreyfus yang membocorkan rahasia tersebut. Hukuman yang dijatuhkan kepadanya disebut semata karena antisemitisme alias kebencian terhadap orang Yahudi di Prancis.
Skandal tersebut dijadikan bahan bakar bagi kelompok Zionis untuk mengampanyekan bahwa Eropa tak lagi aman untuk orang Yahudi dan mereka perlu mendirikan negara sendiri. Pandangan itu tak diamini kelompok Yahudi di Prancis yang merasa hidup mereka baik-baik saja. Walhasil, Prancis awalnya tak sebegitu gencar mendukung pendirian negara Zionis dan baru mulai aktif saat menghadapi Jerman pada Perang Dunia II.
Selain itu, Prancis saat itu juga menghadapi pemberontakan pejuang-pejuang Muslim yang menuntut kemerdekaan di Aljazair. Hal ini membuat Prancis merangkul Israel untuk melawan nasionalisme Arab. Presiden Prancis Charles de Gaulle kemudian memutuskan mengakui negara Israel pada 1949 dan terus memberikan bantuan militer pada 1950-an.
Peran penting Prancis menegaskan hegemoni Israel di Timur Tengah adalah bantuan untuk proyek nuklir yang diberikan pada 1957. Pada 2001, film dokumenter besutan Michael Karpin, A Bomb in the Basement, menguak peran Prancis memungkinkan Israel memiliki senjata nuklir.

Video tersebut menunjukkan mantan pejabat Kementerian Pertahanan Prancis mengatakan bahwa kepala Komisi Energi Atom Prancis, Francis Perrin, menyarankan Perdana Menteri saat itu Guy Mollet untuk memberikan bom nuklir kepada Israel.
"Francis Perrin menelepon Guy Mollet," kata pejabat tersebut, Abel Thomas. “Dia mengatakan kepadanya bahwa Israel harus disuplai dengan bom nuklir.” Patut dicatat, saat itu Amerika Serikat menolak proyek nuklir Israel. Proyek pembangkit nuklir itu selesai pada 1963, tahun yang sama saat Presiden AS John F Kennedy yang menentang proyek nuklir Israel ditembak mati.
Hubungan mesra Prancis-Israel itu juga terkait dengan persekongkolan untuk merebut kembali Terusan Suez yang dinasionalisasi Mesir. Pada 1956, Prancis bersama Inggris dan Israel melancarkan agresi militer ke Mesir untuk tujuan itu. Agresi itu berhenti saat AS, Uni Soviet, dan PBB melontarkan kecaman.
Namun pada 1960-an dinamika baru muncul. Prancis berhasil didepak pejuang kemerdekaan dari Afrika Utara. Artinya, Prancis tak lagi punya kepentingan strategis menentang nasionalisme Arab. Prancis mulai kritis terhadap penjajahan Israel meski pengerjaan reaktor nuklir dilanjutkan.

Dilansir Middle East Eye, pada November 1967, setelah Israel merebut wilayah Palestina, Presiden Charles de Gaulle meramalkan bahwa Israel sedang melakukan penjajahan yang pasti akan melibatkan penindasan… dan perlawanan terhadap pendudukan ini [yang] Israel [akan] masukkan sebagai terorisme”.
Pada 1982, François Mitterrand mengakui hak orang Palestina atas sebuah negara di hadapan Knesset, dan Jacques Chirac, yang oleh Yasser Arafat dijuluki "Dokter Chirac", secara pribadi terlibat dalam negosiasi perdamaian.
Dengan risiko dituduh "pro-Arab" oleh Israel, Paris selalu menganjurkan penyelesaian konflik secara politik berdasarkan solusi dua negara, yang mampu memenuhi kebutuhan keamanan Israel dan aspirasi rakyat Palestina pada saat yang bersamaan.
Departemen Afrika Utara dan Timur Tengah di Kementerian Luar Negeri, yang sering dijuluki “Jalan Arab” di Quai d’Orsay, telah menjadi elemen kunci dalam mempertahankan posisi ini, bahkan di bawah mandat presiden yang lebih berpihak pada Israel seperti Nicolas Sarkozy.

Di bawah pemerintahan Macron, hubungan antara kepresidenan dan korps diplomatik, terutama setelah Israel memulai serangannya di Gaza, menjadi tidak nyaman, menurut laporan media.
“Ketegangan ini terjadi secara diam-diam, tidak pernah diungkapkan secara terbuka, namun sangat nyata. Posisi Emmanuel Macron dalam perang antara Israel dan Hamas menimbulkan kekesalan, bahkan keraguan yang kuat, di dalam aparat diplomatik Prancis,” tulis surat kabar Le Monde pada November 2023.
Bulan itu, dalam sebuah dokumen internal yang bocor, para diplomat Prancis mengkritik posisi Paris mengenai perang di Gaza dan apa yang mereka anggap sebagai pelanggaran terhadap kebijakan lama negara tersebut dalam membina hubungan di dunia Arab.
Perubahan sikap...