REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Kantor Koordinator Bantuan Kemanusiaan PBB (OCHA) mengungkapkan masyarakat di daerah terdampak gempa di Myanmar sangat membutuhkan tempat penampungan, air bersih dan obat-obatan. Gempa berkekuatan 7,7 magnitudo menghancurkan infrastruktur dan menimbulkan banyak korban jiwa di negara Asia Tenggara itu.
Pemerintah militer Myanmar mengatakan korban jiwa gempa Jumat (28/3/2025) lalu tembus 2.700 orang lebih. Gempa ini juga melukai 4.500 orang dan merusak infrastruktur-infrastruktur penting seperti jembatan dan jalan raya.
"Waktu kritis antara pencarian dan penyelamatan semakin sempit, ketersediaan tempat penampungan, air bersih, obat-obatan semakin berkurang, masyarakat di daerah terdampak menghabiskan malam di tempat terbuka karena tidak ada listrik atau air," kata Residen OCHA Myanmar Marcoluigi Corsi di Jenewa, Selasa (1/4/2025).
Beberapa lembaga PBB sudah memperingatkan kurangnya air minum dan kemungkinan penyebaran wabah kolera. "Ini sangat mengerikan, yang paling dibutuhkan adalah air, sangat panas di sana, pipa air dan bak septik rusak," kata Perwakilan Dana Anak-anak PBB (UNICEF) Julia Rees.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan rumah sakit-rumah sakit kewalahan dengan gelombang pasien luka dan kekurangan pasokan obat-obatan. Rumah sakit-rumah sakit juga kekurangan air dan bahan bakar.
Badan Pengungsi PBB (UNHCR) mengidentifikasi situasi di Myanmar sebagai krisis kemanusiaan tingkat tinggi. Mereka mendistribusikan selimut plastik, matras dan jaring nyamuk. Lembaga itu menambahkan jalan rusak mempersulit pengiriman bantuan.
UNHCR mengatakan timnya membutuhkan waktu 13 jam dari Yangon ke Mandalay. Padahal biasanya hanya membutuhkan waktu delapan jam.
"Yang paling dibutuhkan adalah tempat penampungan sementara dan alat-alat bantuan, juga terdapat risiko bahan peledak yang belum meledak, hasil dari konflik sipil yang berlangsung selama empat tahun," kata perwakilan UNHCR Babar Baloch.
OCHA, UNHCR dan UNICEF mendesak negara-negara segera mengirimkan bantuan dana agar mereka bisa mengisi kembali pasokan bantuan. “Pasokan bantuan di lapangan tidak akan bertahan selamanya, jadi karena itu sangat penting kami mendapatkan sumber daya yang kami butuhkan," kata Baloch.
Myanmar dilanda perang sipil sejak militer mengkudeta pemerintah terpilih pada tahun 2021 lalu. Gerakan oposisi memicu pemberontakan bersenjata melawan junta.