Rabu 19 Mar 2025 15:25 WIB

Kortastipidkor Polri Tetapkan Mantan Dirut PTPN XI Jadi Tersangka

Dolly menjadi tersangka dugaan korupsi proyek modernisasi Pabrik Gula Djatiroto.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Kepala Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Kortastipidkor (Kakortastipidkor) Polri, Irjen Cahyono Wibowo.
Foto: Humas Polri
Kepala Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Kortastipidkor (Kakortastipidkor) Polri, Irjen Cahyono Wibowo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Kortastipidkor (Kortastipidkor) Polri menetapkan mantan dirut PTPN XI Dolly Parlagutan Pulungan sebagai tersangka. Dolly menjadi tersangka dugaan korupsi proyek pengembangan dan modernisasi Pabrik Gula (PG) Djatiroto PTPN XI yang terintegrasi engineering, procurement, construction, and commissioning (EPCC) tahun 2016.

Kepala Kortastipidkor Polri Irjen Cahyono Wibowo menjelaskan, selain Dolly, penyidik juga menetapkan mantan Direnbang Bisnis PTPN XI Aris Toharisman sebagai tersangka. "Kalau tidak salah sudah ada penetapan dua tersangka. Pertama, Dolly Pulungan dan kedua, Aris Toharisman," katanya di Jakarta, Rabu (19/3/2025).

Baca Juga

Kedua tersangka tersebut, kata Cahyono, melaksanakan perencanaan, pelelangan, pelaksanaan maupun pembayaran pekerjaan modernisasi PG Djatiroto di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Sehingga, hal itu menyebabkan proyek belum selesai dan menimbulkan kerugian negara.

Cahyono menjelaskan, pada tahap perencanaan, proyek dikerjakan tanpa adanya studi kelayakan. Selain itu, kedua tersangka juga telah mengatur pemenang lelang dan pihak KSO Hutama-Eurroassiatic-Utam Sucrotech (HEU).

Kemudian, pada tahap pelelangan, tersangka Aris meminta panitia lelang untuk membuka lelang. Padahal, harga perkiraan sendiri (HPS) masih di-review oleh tim konsultan pengawas. Selain itu, panitia lelang tetap meloloskan KSO HEU meski tidak memenuhi syarat, seperti tidak memiliki surat dukungan bank dan tidak memiliki workshop di Indonesia.

Selanjutnya, pada tahap pelaksanaan, isi kontrak perjanjian diubah-ubah dan tidak sesuai dengan rencana kerja dan syarat-syarat (RKS) dengan menambahkan uang muka 20 persen dan menambahkan pembayaran Letter of Credit (LC) ke rekening luar negeri. "Tahapan pembayaran procurement yang menguntungkan penyedia tanpa mengikuti prinsip good corporate governance (GCG)," kata Cahyono.

Bahkan, sambung dia, kontrak perjanjian ditandatangani tidak sesuai dengan tanggal yang tertera di kontrak. Selain itu, pelaksanaan uji performa barang tidak dilakukan secara langsung sehingga barang yang diterima tidak sesuai dengan spesifikasi yang dipesan.

Terakhir, pada tahap pembayaran, terjadi pembayaran uang muka sebanyak 20 persen. Padahal, uang muka hanya sebesar 15 persen. Selain itu, terdapat kompensasi yang harus ditanggung PTPN XI yang tidak sesuai aturan.

"Atas pembayaran-pembayaran yang dilakukan oleh PTPN XI sampai dengan 90 persen, sementara pekerjaan mangkrak sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara," kata Cahyono.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement