REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menegaskan, tudingan sejumlah pihak terkait Presiden Prabowo Subianto menerapkan praktik militerisme seperti pada masa Orde Baru sangat tidak mungkin terjadi saat ini. "Kenapa tidak mungkin? Karena pemerintah sekarang adalah pemerintah sipil," kata Pigai dalam konferensi pers di Kantor Kementerian HAM, Jakarta Selatan, Selasa (11/3).
Dia menjelaskan, pemerintahan sipil berkaitan dengan Presiden Prabowo Subianto yang mendirikan partai politik. Pun Prabowo pada Pemilu 2024 menjadi calon presiden (capres) peraih suara terbanyak melalui proses pemilihan langsung.
"Presiden Prabowo Subianto juga terpilih melalui proses demokrasi. Ada dinamika right to vote (hak untuk memilih), ada dinamika right to take a part of government (hak untuk dipilih)," ujarnya.
Selain itu, Pigai menjelaskan, sebanyak 30 persen jajaran Kabinet Merah Putih merupakan aktivis organisasi kemasyarakatan sipil yang pernah jatuh bangun membangun demokrasi, HAM, dan reformasi di Tanah Air. Menurut dia, pemerintahan Prabowo melalui misi Asta Cita turut mengedepankan demokrasi dan HAM.
"Program-program prioritas pemerintah yang berjumlah 17, nilainya adalah nilai-nilai hak asasi manusia, termasuk kebebasan ekspresi, kebebasan pers," jelas mntan komisioner HAM tersebut.
Oleh sebab itu, Pigai menegaskan, sangat tidak mungkin sistem militerisme maupun otoritarianisme akan hidup kembali di Indonesia. "Salah satu wujud nyata menghadirkan iklim demokrasi dan HAM bangsa ini adalah menghadirkan Kementerian HAM. Indonesia adalah satu dari empat negara di dunia yang punya Kementerian Hak Asasi Manusia," ujar Pigai.
Sementara itu, Kementerian HAM mengusulkan pembentukan Undang-Undang tentang Kebebasan Beragama. Hal itu untuk menanggapi diskriminasi terhadap kelompok beragama minoritas atau di luar agama resmi yang diakui negara.
"Undang-Undang Kebebasan Beragama, bukan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama. Kenapa? Kalau Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama itu seakan-akan kita menerima fakta adanya pengekangan kebebasan beragama," kata Pigai di kantornya.
Selain itu, Pigai menjelaskan bahwa Undang-Undang Kebebasan Beragama dibutuhkan dibandingkan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama. Pasalnya, negara tidak boleh menjustifikasi adanya ketidakadilan dalam beragama.
"Ada undang-undang memproteksi, itu tidak boleh. Oleh karena itu, posisi kami adalah menginginkan Undang-Undang Kebebasan Beragama sehingga siapa pun anak bangsa bisa beragama," jelasnya.