REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Anggota Komisi VI DPR RI, Rachmat Gobel, meminta pemerintah membentuk satuan gugus tugas (task force) untuk menelisik dan mencari solusi komprehensif terhadap permasalahan tutupnya sejumlah pabrik tekstil dan pemutusan hubungan kerja (PHK) para karyawan di banyak industri. “Perlu analisa menyeluruh dan solusi menyeluruh. Ini bukan semata masalah trend global tapi ada banyak faktor penyebab lainnya. Hentikan menyalahkan tingginya pohon. Ada banyak cara untuk bisa memetik buah,” katanya, Rabu, (5/3/2025).
Gobel menyampaikan hal itu menanggapi badai tutupnya banyak pabrik tekstil di Bandung dan disusul tutupnya raksasa tekstil Sritex di Sukoharjo. Selain itu, juga terjadi banjir PHK di sejumlah perusahaan seperti Sanken dan Yamaha Music. Bahkan Yamaha Music juga diberitakan menutup dua divisi pabriknya. Fenomena ini merupakan rangkaian dari proses deindustrialisasi di Indonesia dalam satu dekade ini. “Ini perlu penyelidikan menyeluruh. Pasti ada yang salah pada kita, karena negara seperti Vietnam justru tumbuh dengan mengesankan,” katanya.
Di era globalisasi ini, kata Gobel, investor sangat mudah memindahkan dananya ke negara yang lebih kondusif untuk berbisnis. Investor tersebut, katanya, tak mesti investor asing tapi juga investor dalam negeri. “Jika kepastian hukum, kebijakan fiskal, kemudahan perizinan, dan masalah perburuhan tidak mendukung maka lebih baik memindahkan pabriknya ke negara lain, lalu barangnya dijual ke Indonesia. Apalagi penyelundupan di Indonesia demikian mudah dan marak. Negara-negara lain pun memberikan kemudahan pajak untuk bisa mengekspor barang industrinya. Nah, karena Indonesia negara berpenduduk besar dan mudah ditembus maka Indonesia menjadi target pasar yang empuk,” katanya.
Karena itu Gobel meminta agar task force tersebut beranggotakan dari lintas kementerian dan lembaga. “Tak boleh lagi ada ego sektoral. Semua yang terkait harus dilibatkan,” katanya. Sebagai industrialis, katanya, ia menilai Kementerian Perindustrian sering menjadi pihak yang dikalahkan oleh Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, maupun Kementerian Investasi. “Tak heran jika kemudian terjadi deindustrialisasi. Membangun industri memang lebih rumit dan hasilnya butuh proses. Tapi ujungnya justru industri lebih menguntungkan dan menguatkan bangsa dan negara,” katanya. Pertarungan antara sisi industri dan perdagangan ini, katanya, sudah terjadi sejak Indonesia baru merdeka.
Industrialisasi, kata Gobel, memiliki efek berantai daripada sekadar menjadi importir dan berdagang belaka. “Dalam industrialisasi itu ada penyerapan tenaga kerja yang besar, ada proses alih teknologi, ada peningkatan kualitas sumberdaya manusia, memiliki efek berantai lahirnya industri pendukung, lahirnya kemampuan menciptakan sesuatu, menumbuhkan UMKM, dan secara fisik barangnya ada di Indonesia,” katanya.
Gobel juga mengingatkan bahwa Indonesia telah memiliki Omnibus Law, yaitu UU Cipta Kerja, yang memberikan kemudahan untuk investasi dan mendorong naiknya ekspor. “Tapi yang terjadi justru badai PHK dan tutupnya pabrik serta deindustrialisasi. Ini berarti ada ketidakmampuan pemerintah dalam mengimplementasikan undang-undang tersebut,” katanya.
Khusus untuk kasus Sritex, kata Gobel, pemerintah perlu melakukan penyelidikan khusus. “Utangnya jauh melebihi asetnya, bahkan hampir dua kali lipatnya. Pemerintah jangan cuma berpatokan pada putusan pengadilan niaga, tapi harus mendapat pemahaman yang menyeluruh dengan melakukan investigasi khusus. Jika berlalu begitu saja, ke depan bisa terjadi pada pabrik-pabrik lain. Mencarikan lapangan kerja untuk 10 ribu orang lebih apalagi di kota kecil itu tentu tidak gampang. Ini bukan soal sederhana. Ini menyangkut ribuan nasib warga kita,” katanya.
“Tidak ada negara maju yang tak kuat industrinya. Hanya dengan menjadi negara industri maka negara tersebut bisa disebut sebagai negara maju. Apakah Indonesia akan terus mengandalkan kekuatannya pada berdagang sumberdaya alam? Kan tidak,” kata Gobel.
Kembali ke soal banjir PHK dan deindustrialisasi, Gobel mengatakan, "Jadi apa inti masalahnya? Masa ada batik harganya cuma 50 ribu rupiah. Jadi segera saja Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Tenaga Kerja, dan Menteri Investasi duduk bersama dan tentukan solusi konkret. Jangan cuma diskusi."