Sabtu 01 Mar 2025 17:15 WIB

Society 5.0 di Hadapan, Generasi Muda Mau Jadi Pemain atau Penonton?

UBSI sudah mengambil langkah nyata, langsung terjun ke praktik teknologi modern.

Society 5.0 menuntut generasi muda melek digital dan pola pikir kritis.
Foto: UBSI
Society 5.0 menuntut generasi muda melek digital dan pola pikir kritis.

REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Bayangkan dunia di mana teknologi bukan hanya tentang kecanggihan tetapi juga soal kemanusiaan. Di mana artificial intelligence (AI) selain membuat robot bisa berbicara, juga membantu menyelesaikan masalah sosial.

Tak hanya itu, big data tak sekadar angka-angka yang rumit, tapi bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama. Inilah Society 5.0, konsep yang dikembangkan Jepang sebagai lanjutan dari Revolusi Industri 4.0.

Bukan lagi cuma soal digitalisasi dan otomatisasi, Society 5.0 membawa visi lebih besar yaitu bagaimana teknologi bisa benar-benar memberi dampak positif pada kehidupan manusia. Tapi pertanyaannya, Indonesia siap atau cuma jadi penonton?

Bambang Kelana Simpony, dosen Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) Kampus Tasikmalaya, punya pandangan menarik soal ini. Menurutnya, kalau generasi muda Indonesia ingin bersaing di era Society 5.0, mereka harus lebih dari sekadar paham teknologi. Mereka harus melek digital, punya pola pikir kritis, kreatif, dan tetap memegang nilai-nilai kemanusiaan.

“Teknologi tanpa nilai kemanusiaan hanya akan menciptakan robot, bukan manusia. Masyarakat 5.0 itu tentang bagaimana teknologi membantu manusia, bukan menggantikannya,” ujar Bambang dalam sebuah wawancaranya yang dikutip Sabtu (1/3/2025).

Menurutnya, Indonesia harus segera beradaptasi. Negara-negara maju sudah jauh melangkah dan kalau kita tidak sigap, kita hanya akan jadi konsumen bukan inovator.

Menjawab tantangan itu, UBSI Kampus Tasikmalaya sudah mulai mengambil langkah nyata. Bukan hanya sibuk dengan teori di ruang kelas, tapi juga langsung terjun ke praktik teknologi modern.

Mulai dari kurikulum berbasis digital, proyek berbasis AI dan IoT sampai seminar dan workshop yang melibatkan praktisi industri—semuanya disiapkan agar mahasiswa nggak cuma paham teknologi juga tahu cara menggunakannya untuk kepentingan masyarakat.

“Mahasiswa perlu lebih dari sekadar tahu cara coding atau mengoperasikan software. Mereka harus bisa melihat masalah di sekitarnya dan berpikir, ‘Bagaimana teknologi bisa jadi solusinya?’,” tambah Bambang.

Di era Society 5.0, pilihannya cuma dua, di antaranya ikut bergerak dan jadi pemain atau cuma duduk diam dan jadi penonton. Teknologi berkembang cepat dan mereka yang nggak mau beradaptasi akan tertinggal jauh.

Bambang menutup dengan pesan optimistis, dengan persiapan matang generasi muda Indonesia nggak cuma bisa bersaing, juga bisa jadi pemimpin di era Society 5.0. Dunia sedang berubah, dan inilah saatnya ikut menciptakan perubahan—bukan hanya mengikuti arus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement