Senin 17 Feb 2025 13:06 WIB

Penolakan MBG di Papua Pegunungan Meluas, Ini Alasannya

Sebanyak 15 pelajar peserta aksi tolak MBG ditangkap di Jayapura.

Rep: Fitriyan Zamzami/Bambang Noroyono/ Red: Fitriyan Zamzami
Ratusan pelajar menolak Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) di halaman Honai Gubernur Papua Pegunungan, Wamena, Jayawijaya, Senin (17/2/2025).
Foto: Dok Republika
Ratusan pelajar menolak Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) di halaman Honai Gubernur Papua Pegunungan, Wamena, Jayawijaya, Senin (17/2/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAYAWIJAYA – Aksi unjuk rasa menolak program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali meletus di Papua Pegunungan. Kali ini, penolakan disampaikan murid sekolah dari berbagai tingkatan mewakili delapan kabupaten di Wamena, Jayawijaya, ibu kota Provinsi Papua Pegunungan. 

Saksi mata menuturkan pada Republika bahwa aksi dimulai di depan Honai Bupati Jayawijaya pada Senin pagi waktu setempat. Dari lokasi itu, para peserta aksi yang terdiri dari ratusan murid dari SD hingga perguruan tinggi dikawal aparat keamanan bergerak ke Honai Gubernur Papua Pegunungan.

Baca Juga

Para peserta aksi dilaporkan mewakili delapan wilayah di Papua Pegunungan yakni Jayawijaya, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Nduga, Pegunungan Bintang, Tolikara, Yalimo, dan Yahukimo. Meski begitu, terjadi juga kasus penolakan program MBG di beberapa wilayah tersebut.

“Intinya mereka sampaikan menolak makanan gratis dan membutuhkan pendidikan gratis untuk masa depan anak-anak Papua,” kata Theo Hesegem, aktivi HAM senior Papua. Para pengunjuk rasa kemudian diterima Gubernur Papua Pegunungan.

“Gubernur menyatakan akan membawa aspirasi para murid di Papua Pegunungan ke pemerintah pusat,” kata Theo. Menurutnya, aspirasi itu akan dikawal Majelis Rakyat Papua (MRP), serta DPR di kabupaten dan provinsi Papua Pegunungan. “Saya juga nanti dari LSM dan pegiat HAM akan mengawal aspirasi tersebut. 

Aksi kemarin yang kesekian dilakukan di Papua Pegunungan. Wilayah tersebut adalah salah satu pusat konflik bersenjata di Papua antara kelompok separatis dan TNI-Polri. Beberapa pekan lalu, ratusan pelajar melakukan aksi unjuk rasa di Yahukimo. 

Dalam seruannya, orator pada unjuk rasa tersebut memprotes bahwa sekolah seharusnya mengutamakan pendidikan. “Sekolah bukan warung makan.” ujar salah satu pengunjuk rasa. Dalam spanduk yang dibentangkan, tertulis bahwa aksi unjuk rasa dilakukan “Aliansi Pelajar Yahukimo”. Ada juga bentangan spanduk dengan tulisan “Makan Gratis, mati Gratis”.

Orator dalam aksi itu juga menuntut perbaikan pendidikan di pegunungan Papua terlebih dulu sebelum program MBG dijalankan. Bukan rahasia, kualitas sekolah-sekolah di kebanyakan wilayah di Papua pedalaman jauh tertinggal dengan sekolah-sekolah di wilayah lain di Indonesia.

Theo Hesegem menilai penolakan itu ada benarnya. “Mereka (penolak) berpikirnya lebih baik sekolah gratis dari pada makan gratis,” kata Theo. 

photo
Ratusan pelajar menolak Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) di halaman Honai Gubernur Papua Pegunungan, Wamena, Jayawijaya, Senin (17/2/2025). - (Dok Republika)

Ia menyatakan bagi warga Papua di pegunungan, biaya sekolah bukan murah. Ia juga menerangkan bahwa situasi perekonomian di Jawa jauh dibandingkan perekonomian di pedalaman Papua untuk menerapkan makan gratis. “Di sini Rp 15 ribu tidak cukup, tidak dapat apa-apa,” kata Theo. Yang bisa jadi makanan bergizi di Jawa tak cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anak Papua. 

Kebijakan MBG juga ia pastikan memicu ketidakadilan dan kecemburuan di Papua. “Di wilayah Papua ini wilayah yang jangkauan sangat sulit. Makanan gratis hanya berlaku di kota. Kalau di wilayah terpencil tidak mungkin.”

Ia mencontohkan, di Yahukimo ada 51 distrik dengan 517 kampung. Untuk beperjalanan dari kampung ke kampung tak jarang harus menggunakan pesawat. “Jadi kalau Pemkab Yahukimo punya pesawat pribadi mungkin baru bisa.” 

Persoalan lainnya, kata Theo adalah pelaksanaan di wilayah konflik. Di sejumlah wilayah yang diliputi konflik, anak-anak bahkan tak masuk sekolah. “Di Nduga semua sudah mengungsi keluar, sekolah tidak jalan dan jangkauan susah. Kebanyakan sudah di Wamena.” “Ini amankan dulu baru jalankan program makanan gratis. Anak sekolah saja masih mengungsi.”

Persoalan selanjutnya, sejauh ini yang melaksanakan program MBG adalah personel TNI-Polri. “Kalau TNI-Polri yang kelola, anak-anak di wilayah konflik akan merasakan trauma. Kecuali jika orang-orang yang betul-betul independen yang kelola makanan gratis atau sekolah yang kelola bisa.”

Ujung-ujungnya kata Theo, penolakan MBG ini terkait dengan kurangnya komunikasi antara pusat dan aktor-aktor di daerah. “Harus banyak bicara dengan warga setempat. Tanya masyarakat, mahasiswa mau seperti apa. Mungkin karena tidak sosialisasi, pemahaman tidak disampaikan sehingga mereka menolak,” ujar direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement