REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Gencatan senjata yang berhasil dicapai antara kelompok pejuang Hamas di Gaza-Palestina dan Zionis Israel disebut bukan karena faktor tunggal. Pengamat Hukum dan Hubungan Internasional Hikmahanto Juwana menilai ada pengaruh geopolitik, terutama pengaruh transisi politik di Amerika Serikat (AS) yang membuat gencatan senjata tersebut berhasil terealisasi.
“Riset mendalam atas situasi tersebut belum ada. Tetapi mungkin ada faktor AS. Soalnya ada pergantian presiden (di AS),” kata Hikmahanto saat dihubungi dari Jakarta, pada Kamis (16/1/2025).
Pergantian kekuasaan dan kepemimpinan di Washington dari Presiden Joe Biden kepada Donald Trump yang akan dilantik menjadi penguasa Gedung Putih. Trump akan resmi dilantik menjadi Presiden AS ke-47 pada 20 Januari 2025 mendatang. Trump politikus dari Partai Republik itu menggantikan Joe Biden dari Parta Demokrat.
Pekan lalu, setelah memastikan memenangkan hasil Pemilu AS 2024, Trump beberapa kali mulai mengomentari soal situasi di kawasan Timur Tengah. Termasuk soal peperangan Hamas di Gaza yang menahan serangan tentara Zionis Israel.
Namun Trump dalam komentarnya terkait Gaza, mendesak agar kelompok pejuang bersenjata Hamas segera mengakhiri penyanderaan warga Israel yang disandera sejak 7 Oktober 2023 lalu. Trump mengancam akan membuat wilayah di Timur Tengah semakain terbakar jika Hamas menolak pembebasan sandera warga Israel sebelum dirinya dilantik.
“Jika para sandera tidak juga bebas pada saat saya mulai menjabat, neraka akan membakar di Timur Tengah. Dan itu tidak baik bagi siapapun,” kata Trump.
Pada Kamis (16/1/2025) dini hari, pemberitaan internasional mengabarkan tentang kesepakatan gencataan senjata antara Hamas dan Zionis Israel. Dalam salah-satu kesepakatan gencatan senjata itu terkait dengan Hamas yang bersedia membebaskan sandera-sandera warga Israel. Dan Zionis Israel akan menghentikan serangan militernya di Gaza.
Serangan militer Zionis Israel dalam periode ini sudah berlangsung sejak 7 Oktober 2023 pascakelompok Hamas melakukan serangan yang mengejutkan ke wilayah Negara Yahudi tersebut. Selama penyerangan militer Zionis Isareal di wilayah Gaza, sedikitnya 47 ribu warga meninggal dunia.
Militer Zionis Israel dalam serangan tersebut menyasar fasilitas-fasilitas warga sipil, seperti rumah sakit, bahkan kamp-kamp pengungsian. Sehingga membuat jumlah korban jiwa didominasi warga biasa, terutama anak-anak dan perempuan. Selama 15 bulan membombardir wilayah Gaza, komunitas internasional menilai Zionis Israel melakukan genosida. Bahkan kalangan internasional menyatakan PM Israel Benjamin Netanyahu sebagai penjahat perang dan harus diadili.
Terkait gencatan senjata antara Hamas dan Zionis Israel kali ini, bukan kali pertama. Karena faksi bersenjata di Gaza-Palestina tersebut sejak lama dalam konflik bersenjata dan tak pernah bersedia untuk mengikat pakta perjanjian damai. Faksi Hamas di Gaza, selama ini tak pernah mengakui keberadaan negara Israel. Atas sikap tersebut, Israel memblokade wilayah Gaza dari semua akses. Bahkan Negara Yahudi itu memblokade akses kebutuhan masyarakat di Gaza.
n