Jumat 22 Aug 2025 08:45 WIB

Pengembangan Industri Antariksa, Ariksa: Jangan Hanya Jadi Objek, Melainkan Harus Jadi Subjek

Indonesia diperkirakan bakal memegang peranan paling besar di industri ini.

Rep: Bayu Adji P/ Red: Gilang Akbar Prambadi
Diskusi mengenai antariksa di Grand Hyatt.
Foto: Dok. HO
Diskusi mengenai antariksa di Grand Hyatt.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Antariksa Indonesia (Ariksa) industri antariksa memiliki potensi ekonomi yang sangat tinggi. Namun, industri itu dinilai masih belum dikembangkan di Indonesia, yang seharusnya memiliki peranan dalam industri tersebut.

Ketua Umum Ariksa Adi Rahman Adiwoso mengatakan, berdasarkan studi dari Deloitte 2025, peningkatan dari pertumbuhan ekonomi dari industri antariksa di kawasan Asia bisa mencapai 100 miliar USD pada 2025-2030. Dalam studi itu, Indonesia diperkirakan bakal memegang peranan paling besar.

"Kalau kita tidak melaksanakan sendiri, orang lain menjadikan kita objek, bukan subjeknya. Jadi kita menganggap bahwa ini harus bisa," kata dia di Grand Hyatt, Jakarta Pusat, Kamis (21/8/2025).

Karena itu, diperlukan sebuah wadah untuk mengumpulkan semua pihak terkait untuk mengembangkan industri antariksa di Indonesia. Pasalnya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berjalan sendiri untuk membangun industri antariksa. Pasalnya, untuk membangun industri antariksa itu juga memerlukan multidisiplin ilmu mulai dari elektro, geofisika, dan lain sebagainya.

"Sehingga perlu menggabungkan kemampuan akademik (untuk) kemampuan kepentingan ekonomi," kata dia.

Adi mengungkapkan, pihaknya memiliki rencana untuk membangun bandara antariksa di Indonesia. Menurut dia, bandara antariksa itu memiliki potensi untuk menghasilkan pendapatan 200 juta USD per tahun.

"Di dalam pemikiran kita bahwa ekonomi antariksa ini adalah sektor ekonomi baru, tapi multidisiplin. Kepentingan akademis, kepentingan pertahanan, pertahanan pangan, bencana, komunikasi, itu menjadi satu. Ini sudah waktunya, setelah kita lihat dari anak muda, bisa mulai dibangun di Indonesia," ujar dia.

Meski begitu, ia menilai, riset antariksa yang dilakukan harus diarahkan kepada penelitian yang memiliki nilai ekonomi langsung. Untuk itu, dibutuhkan kerja sama dengan akademisi.

“Riset itu harus beraplikasi langsung, yang ekonominya value. Applied research kepada antariksa, bukan sekadar basic research. Untuk itu kita perlu kerja sama erat dengan akademisi, seperti ITB dan PENS, karena tidak mungkin industri berjalan sendiri,” kata dia.

Meski begitu, salah satu tantangan yang dihadapi saat ini adalah masih minimnya sumber daya manusia di sektor antariksa. Sebab, ia menyebutkan, jumlah stakeholder antariksa di Indonesia diperkirakan kurang dari seribu orang, jauh tertinggal dibanding India yang telah memiliki lebih dari 25 ribu.

“Kita ini paling telat punya asosiasi antariksa di Asia, padahal kita yang paling besar. Karena itu ekosistemnya harus kita besarkan, supaya regulasi, industri, dan teknologi bisa benar-benar berkembang,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement