REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Asian Society of Agricultural Economists (ASAE) Bustanul Arifin berpesan agar menteri Kabinet Merah Putih harus bekerja keras menerjemahkan arahan Presiden Prabowo Subianto terkait rencana penambahan lahan kepala sawit. Dia berharap, semua komponen bangsa mengawal bersama sama dengan mengedepankan prinsip keberlanjutan.
Menurut Bustanul, sejauh ini, berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional tidak ada penambahan lahan sawit seperti yang disampaikan Presiden Prabowo. Karena itu, jika nantinya rencana Presiden Prabowo akan dilaksanakan, perlu adanya kebijakan yang baru.
"Karena bagaimana pun finalisasi aktivitas itu (penambahan lahan kelapa sawit) kan ada di dalam kebijakan. Kalau akan ada kebijakan baru, nanti memang perlu kita kawal sama sama," ucap Bustanul dalam siaran pers di Jakarta, Senin (6/1/2025).
Terkait dugaan kelapa sawit sebagai kontributor laju deforestasi, Bustanul meminta semua pemangku kepentingan ikut memikirkan konsekuensinya secara baik. Kalau ada perubahan tata guna hutan menjadi tanaman sawit, sambung dia, pasti ada perubahan kemampuan menambat dan menyimpan karbon.
Dia menyebut, tanaman hutan dipastikan mempunyai kemampuan daya tangkap dan simpan karbon lebih tinggi dibanding tanaman sawit. Bahkan, hutan juga mempunyai daya lepas karbon lebih sedikit daripada sawit. "Dari situ para ahli meneliti sampai sedetail-detailnya sedapat mungkin kalau ada perubahan hutan menjadi sawit, harus ada reforestasi atau aforestasi yang harus ditambah. Jadi ada kompensasi," ucap Bustanul.
Dia menyampaikan, tidak setuju jika benar-benar melakukan pembabatan hutan untuk ditanami sawit tanpa ada upaya kompensasi di atas. Begitu juga pembukaan lahan di lahan gambut. "Di lahan gambut pasti akan menimbulkan emisi karbon baru, sementara pada saat yang sama kita menandatangani komitmen untuk menurunkan perubahan iklim," jelas Bustanul.
Terkait hambatan masuknya produk kepala sawit Indonesia ke Eropa, hal itu sudah menjadi rahasia umum. Bustanul menilai, Eropa khawatir produk sawit Indonesia mengancam produk minyak bunga matahari dan kanola. Dia mengungkapkan, Uni Eropa mulai tahun ini menerapkan European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang sempat ditunda setahun karena diprotes oleh Amerika Serikat.
"Memang betul pangsa pasar sawit kita ke Eropa tidak terlalu besar, 12 persen, tak sampai 20 persen. Tapi Eropa kan menjadi trendsetter. Jika Eropa sudah ikut melarang memasukkan barang kita atau produksi biofuel kita ke sana, saya khawatir negara lain ikut-ikutan," ujar Bustanul. Untuk itu, selain daya saing, kemampuan diplomasi kampanye positif sawit harus terus dilakukan.
Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat ME Manurung menyampaikan, sebanyak 17 juta kepala keluarga petani sawit dari Aceh hingga Papua memberikan dukungan penuh kebijakan Prabowo terkait pembukaan lahan sawit. Menurut Gulat, kelapa sawit merupakan anugerah Tuhan kepada Indonesia dan banyak negara lain mendambakan sawit dapat tumbuh di negaranya dengan berbagai modifikasi lingkungan.
Tetapi, produktivitasnya jauh di bawah ekonomis. "Jadi anugerah tadi sudah sewajarnya menjadi daya tawar Indonesia kepada dunia. Faktanya selama ini terlampau bebas siapa pun menyudutkan sawit tanpa ada perlindungan regulasi terhadap komoditas strategis sawit, jadi kami petani sawit sangat bangga atas pidato presiden," ucap Gulat.