REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bakal menerapkan kebijakan retribusi sampah yang dikenakan pada warga mulai tahun depan. Ini langkah terbaru di wilayah yang sudah sekian lama berkutat dengan persoalan sampahnya.
Jakarta pada 2024 tiap hari menampung tidak kurang dari 8.000 ton sampah. Jumlah itu jika ditotal mencapai 3,11 juta ton per tahun. Penduduk Jakarta yang berjumlah sekitar 10 juta jiwa diperkirakan bertambah dua juta jiwa pada siang hari. Mereka tentunya ikut nimbrung membuang sampah dan mengotori Kota Jakarta.
Wartawan senior Alwi Shahab yang berpulang pada 2020 lalu sempat menuliskan di Republika, sudah sejak lama sampah jadi persoalan di Jakarta. Istilah TPA (tempat pembuangan akhir) sampah baru akhir-akhir ini saja dikenal. Ini terutama sejak Pemprov DKI mengalami kesulitan mengatasi sampah di ibu kota.
Di zaman kolonial dikenal dengan istilah vuilbak atau pelbak kata orang Betawi. Karenanya, tidak heran ada beberapa tempat di Jakarta bernama vuilbak, seperti di Kebayoran Baru. Di daerah itu kini menjadi daerah perkantoran, pertokoan, dan perumahan bergengsi. Padahal, vuilbak dalam bahasa Indonesia artinya kira-kira bak (tempat sampah) yang kotor.
Saat sekarang sampah sering dituding sebagai salah satu penyebab banjir, tidak demikian pada tempo doeloe. Para ibu dan gadisnya yang kala itu masih berpakaian kebaya dan berkerudung setelah shalat Subuh langsung menyapu dan membersihkan pekarangan rumahnya. Waktu itu umumnya pekarangan rumah orang Betawi cukup luas, terdapat banyak tanaman. Di antaranya, durian, dukuh, rambutan, dan mangga.
Sampah-sampah ini kemudian mereka bakar setelah dibuang di sebuah lubang yang dalamnya kira-kira setengah meter dan lebarnya satu meter. Sampah dan kotoran ini mereka bakar, yang dikenal dengan istilah nabun. Ketika nabun mereka sekaligus membakar singkong, ubi, biji nangka, atau biji durian. Setelah matang ada yang menjadikan biji-bijian ini untuk sarapan pagi bersama keluarga sambil minum kopi. Abunya dijadikan pupuk pohon buah-buahan.
Boleh dikata hampir tidak ada yang membuang sampah di sungai seperti sekarang ini. "Orang buang gobangan (mata uang Belanda berbentuk koin) ke kali bisa kelihatan karena beningnya air,'' kata H Irwan Syafi'ie, ketua LKB (Lembaga Kebudayaan Betawi), dikutip Abah Alwi. Belanda di masa penjajahan juga menerapkan peraturan yang keras, terutama menyangkut kebersihan. Istilah verboden (dilarang) membuang sampah sembarangan rupanya lebih dipatuhi ketimbang sekarang.
Menurut H Irwan, kepatuhan untuk menjaga kebersihan ini ada kaitannya dengan hadis Nabi. ''Kebersihan merupakan sebagian dari iman.'' Bukan hanya pemerintah Hindia Belanda, ulama dan para jagoan Betawi dengan mendasarkan pada seruan agama ikut melarang warganya membuang sampah ke sungai.
"Kowe jangan boeang itu sampah ke sungai, itu verboden," kata seorang petugas kebersihan Belanda pada seorang penduduk yang bandel hendak membuang sampah ke kali.
Untuk menjaga kebersihan Kota Batavia ketika itu, Belanda punya dinas kebersihan dan penyiraman yang dalam Belanda dinamakan Reinigings en Besproeiingliests. Sampai 1913 dinas ini sudah mengeluarkan biaya sekitar 93 ribuan gulden. Karena kerjanya dirasakan masih kurang lancar, dinas kebersihan ini kemudian dimodernisasi peralatannya.
Seperti untuk menyiram jalan dan taman-taman, tenaga manusia digantikan dengan mobil. Khusus untuk mengangkut sampah, dinas kebersihan pada 1921 sudah memiliki 15 mobil truk, saat Batavia masih berpenduduk ratusan ribu.
Truk sampah juga beroperasi ke kampung-kampung dari pukul 08.00 hingga 16.00 WIB. Kampung yang tidak terjangkau truk dikunjungi gerobak sampah, dibantu dengan perahu-perahu. Khusus untuk penyiraman taman yang banyak terdapat di Batavia disediakan tujuh buah kendaraan terbagi dalam tujuh bagian kota.