Oleh Fitriyan Zamzami, Kamran Dikarma
REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING – Kesepakatan Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden Cina Xi Jinping yang diteken 9 November 2024 lalu menuai pro-kontra. Salah satu poin dari kesepakatan tersebut dinilai menyalahi sikap Indonesia terkait sengketa di Laut Cina Selatan (LCS).
Dalam dokumen yang dilansir media resmi pemerintah Cina CGTN, dalam kesepakatan yang diteken pada kunjungan Prabowo ke Beijing tersebut, terdapat 14 poin kesepakatan. Kebanyakan soal pengajuan kerja sama ekonomi dan politik.
Sementara pada poin kesembilan, tertuang kesepakatan soal kerja sama yang “lebih cerah” di bidang maritim. “Kedua belah pihak menekankan kerja sama maritim sebagai komponen penting kerja sama strategis yang komprehensif antara Cina dan Indonesia, dan akan secara aktif menjajaki dan melaksanakan lebih banyak proyek kerja sama maritim…” bunyi pembuka poin tersebut.
Bunyi kesepakatan yang kemudian menjadi sorotan ada di paragraf kedua. “Kedua belah pihak mencapai pemahaman bersama yang penting mengenai pembangunan bersama wilayah klaim yang tumpang tindih dan sepakat untuk membentuk Gabungan Antar Pemerintah Komite Pengarah untuk menjajaki dan memajukan kerja sama yang relevan berdasarkan prinsip ‘saling menghormati, kesetaraan, saling menguntungkan, fleksibilitas, pragmatisme, dan musyawarah mufakat,’ sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Tak disebut secara gamblang wilayah mana yang disengketakan itu. Namun, ada petunjuk lain di paragraf terakhir poin itu: “Kedua belah pihak menegaskan kembali komitmen mereka terhadap implementasi Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut Cina Selatan (DOC) secara penuh dan efektif, dan kesimpulan awal kode etik (COC) berdasarkan pembangunan konsensus, sehingga dapat bersama-sama menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan.”
Pernyataan ini krusial karena sejumlah hal. Pertama, secara resmi sedianya tak ada wilayah yang disengketakan oleh Cina dan Indonesia. kendati demikian, Cina sejak lama mengeklaim bahwa hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan masuk wilayah mereka dalam peta imajiner yang disebut “Sembilan Garis Putus-Putus”. Belakangan, garis putus-putus itu ditambah menjadi sepuluh garis. Ujung paling selatan dari peta imajiner itu mendekati Laut Natuna Utara di wilayah Indonesia.
Saat membuat peta garis putus-putus pada 1947, Cina belum menentukan koordinat yang presisi terkait jangkauan geografis klaim Cina. Namun, Direktorat Studi Perbatasan Cina di Akademi Ilmu Sosial Cina, yang melakukan riset sejak 1993 sejak 2015 sedianya Cina telah menentukan titik geografis Sepuluh Garis Putus-Putus.
Dari riset pusat studi itu, garis itu bersinggungan dengan 1,5 juta kilometer persegi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejumlah negara ASEAN yang mengacu pada Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS). Dari jumlah itu, ada seluas 50 ribu kilometer persegi wilayah tumpang tindih antara wilayah yang diklaim Cina dengan dengan ZEE Indonesia.
Meski begitu, Indonesia tak pernah secara resmi mengajukan diri sebagai pihak yang bersengketa dalam klaim tersebut. Di ASEAN, hanya Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina yang menantang klaim Cina.
Pernyataan bersama Prabowo berpotensi mengubah sikap tersebut. “Bila memang benar, berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak Cina atas Sepuluh Garis Putus telah berubah secara drastis dan merupakan perubahan yang sangat fundamental dan berdampak pada geopolitik di kawasan,” ujar guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana dalam lansiran yang diperoleh Republika.
Menurutnya, hingga berakhirnya pemerintahan Jokowi, Indonesia memilki kebijakan untuk tidak mengakui klaim sepihak Sepuluh Garis Putus dari Cina. Hal ini karena klaim Sepuluh Garis Putus tidak dikenal dalam UNCLOS dimana Indonesia dan Cina adalah negara peserta. Terlebih lagi Permanent Court of Arbitration pada tahun 2016 telah menegaskan klaim sepihak China tersebut memang tidak dikenal dalam UNCLOS.
Namun dengan adanya pernyataan bersama, menurut Hikmahanto, berarti Indonesia telah mengakui klaim sepihak Cina atas Sepuluh Garis Putus. “Perlu dipahami ‘joint development’ hanya terjadi bila masing-masing negara saling mengakui adanya zona maritim yang saling bertumpang tindih.
Ia juga mengatakan pengakuan klaim sepihak Sepuluh Garis Putus tidak sesuai dengan perundingan perbatasan zona maritim yang selama ini dilakukan oleh Indonesia dimana Indonesia tidak pernah melakukan perundingan maritim dengan Cina. Hal ini karena dalam peta Indonesia dan dalam Undang-undang Wilayah Negara tidak dikenal Sepuluh Garis Putus yang diklaim secara sepihak oleh Cina.
Pemerintah pun selama ini konsisten untuk tidak mau melakukan perundingan terlebih lagi memunculkan ide joint development dengan China. “Bila memang benar area yang akan dikembangkan bersama berada di wilayah Natuna Utara maka Presiden Prabowo seharusnya melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat,” kata Hikmahanto.
Terlebih lagi, menurutnya, bila joint development ini benar-benar direalisasikan maka banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dilanggar. “Bila memang benar Indonesia hendak melakukan joint development dengan pemerintah China maka ini akan berdampak pada situasi geopolitik di kawasan.”
Negara-negara yang berkonflik dengan China sebagai akibat klaim sepihak Sepuluh Garis Putus, seperti Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam akan mempertanyakan posisi Indonesia dan bukannya tidak mungkin memicu ketegangan di antara negara ASEAN.
“Belum lagi negara-negara besar yang tidak mengakui klaim sepihak China karena berdampak pada kebebasan pelayaran internasional seperti Amerika Serikat dan Jepang akan sangat kecewa dengan posisi Indonesia. Tentu ini akan mengubah peta politik di kawasan.”
Ia menilai, bila benar joint development dengan China di area Natuna Utara benar-benar direalisasikan maka yang justru mendapat keuntungan besar adalah China. “Bahkan China bisa mengklaim bahwa Indonesia telah jatuh ditangannya, suatu hal yang tidak sesuai dengan pernyataan Presiden Prabowo dalam pidato pertama sebagai Presiden di depan MPR bahwa Indonesia akan tidak berada dibelakang negara adidaya yang sedang berkompetisi,” kata dia.
Kemenlu tegaskan ikuti UNCLOS 1982…