Senin 14 Oct 2024 14:54 WIB

Kegigihan Ulama Aceh, Tengku Abdul Jalil

Tengku Abdul Jalil berjuang pada masa pendudukan Jepang.

Tengku Abdul Djalil
Foto: dok ist
Tengku Abdul Djalil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nourouzzaman Shiddiqi dalam tesisnya, The Role of the Ulama During the Japanese Occupation of Indonesia (1942-45), menuturkan riwayat seorang pejuang Aceh, Tengku Abdul Jalil (kerap dieja: Tengku Abdul Djalil). Ia turut berjuang dalam masa pendudukan Jepang di Negeri Serambi Makkah.

Shiddiqi mengatakan, bagi Tgk Abdul Jalil, tidak ada beda antara penguasa kolonial Belanda dan Jepang. Keduanya sama-sama kafee (kafir) yang memusuhi kaum Muslimin. Bahkan, yang belakangan itu cenderung lebih barbar.

Baca Juga

Mereka sangat tidak mengindahkan sama sekali martabat orang Aceh. Para tentara Nippon pun suka bertindak kasar. Banyak masyarakat lokal yang merasakan arogansi militer asing tersebut Tgk Abdul Jalil merupakan salah seorang dai yang tidak termasuk anggota Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).

Organisasi ini sudah terbentuk sejak zaman kolonial Belanda. Begitu mendengar kabar pecahnya Perang Dunia II, para pemimpin PUSA sepakat untuk berkompromi dengan Nippon agar Belanda hengkang dari Aceh.

Setelah Nippon menguasai Penang (Malaysia) pada 1941, mereka mengirim utusan ke sana. Disepakatilah terbentuknya Fujiwara-kikan atau Gerakan F untuk menyerang basis-basis pertahanan Belanda di Aceh sebelum Nippon mendarat di Sumatra.

Para pemuka PUSA melakukannya karena pihak Jepang berjanji untuk tidak membombardir Aceh. Akan tetapi, seperti yang dapat dilihat kemudian, para tentara Nippon bertindak semena-mena begitu menguasai Tanah Rencong.

Tgk Abdul Jalil pun mengkritik langkah PUSA yang sejak awal tidak menyadari sifat khianat pada diri Nippon. Sejak 1942, makin banyak tokoh organisasi tersebut yang berpindah ke gerakan lain, semisal Masjumi.

Penguasa militer Jepang memberlakukan banyak aturan yang menindas kebebasan umum di Aceh. Di antaranya, masyarakat dilarang membaca kan, mengedarkan, ataupun mengajarkan Hikayat Prang Sabi.

Nippon sangat paham, pengajaran teks sastrawi itu dapat menginspirasi masyarakat Aceh untuk memberontak. Karya sastra lisan tersebut merupakan sebuah syair kepahlawanan. Isinya membangkitkan semangat rakyat Aceh untuk terus berjuang melawan penjajahan, sejak zaman imperialis Portugis hingga Belanda.

Namun, Tgk Abdul Jalil tidak gentar. Ia tetap mengajarkan Hikayat Prang Sabi kepada murid-murid di dayahnya. Maka dirinya pun berkali-kali dikirim surat panggilan pemeriksaan oleh polisi Jepang (kenpeitai). Tidak satu kali pun sang mubaligh meresponsnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement