REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- G30S/PKI adalah episode sejarah politik Indonesia yang sangat kontroversial. Di luar versi resmi pemerintah sebagaimana yang tertuang dalam buku G30S PKI: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya (Setneg RI, 1994), berbagai literatur selama ini telah berusaha memotret peristiwa tersebut dalam gambar yang beragam.
Yang menjadi titik utama pertanyaan adalah: Siapakah yang berada di belakang kudeta tersebut? Pada 1995, Eep Saefulloh Fatah yang kala itu menjabat litbang Harian Republika, melacak kembali berbagai literatur utama yang terlibat dalam perdebatan tentang episode tersebut. Berikut adalah rangkuman dari perdebatan itu:
Artikel Hall dan Cornell Paper
Tak lama setelah peristiwa G30S/PKI, setidaknya ada dua analisis yang muncul dari pengamat asing yang, menariknya, keduanya bertentangan. Dalam Reader's Digest edisi November 1966, Clerence W Hall menggambarkan G30S/PKI sebagai manuver PKI dan Sukarno untuk melanjutkan skenario politik yang telah mereka susun selama Demokrasi Terpimpin. Dalam versi Hall, PKI dan Sukarno adalah dalang di belakang peristiwa berdarah itu.
Nyaris bersamaan dengan publikasi tulisan Hall, muncul Cornell Paper; makalah Benedict ROG. Anderson dan Ruth McVey berjudul A Preliminary Analysis of The October 1, 1965, Coup in Indonesia (1966). Anderson dan McVey menyimpulkan bahwa G30S/PKI adalah persoalan internal Angkatan Darat.
PKI bukanlah dalang. Menurut versi ini keterlibatan PKI terjadi dalam saat-saat akhir, itu pun karena PKI ''dipancing untuk masuk'' dan akhirnya benar-benar terseret masuk. Keterlibatan PKI, menurut Cornell Paper, hanya bersifat insidental belaka.
Banyak yang meragukan kesahihan artikel Hall maupun Cornell Paper. Kedua analisis ini dibuat pada saat Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) masih menyidangkan para pelaku G30S/PKI dan banyak dokumen belum terungkap. Wajar jika Cornell Paper -- yang memang lebih terkenal ketimbang artikel Hall -- pun mendapatkan reaksi dari pelbagai penjuru.
Bantahan terhadap Cornell Paper
Dari dalam negeri, dua tahun setelah publikasi Cornell Paper, muncul bantahan dari Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh melalui buku The Coup Attempt of The September Movement in Indonesia (1968). Ismail Saleh dan Notosusanto membantah versi Anderson dan McVey dengan menunjukkan bahwa PKI lah yang mendalangi kup yang gagal di penghujung September itu.
Menurut versi ini, Angkatan Darat sama sekali tidak menduga akan terjadi peristiwa berdarah itu. Dengan begitu, versi ini membantah analisis Anderson dan McVey bahwa peristiwa itu adalah ekspresi persoalan intern di dalam tubuh Angkatan Darat.
Pada tahun yang sama (1968) terbit pula buku John Hughes berjudul The End of Soekarno. A Coup that Misfired: A Purge that Ran Wild. Buku ini menunjukkan G30S/PKI lebih sebagai kup PKI daripada persoalan internal Angkatan Darat. Hughes -- sebagaimana Ismail Saleh dan Notosusanto -- melihat militer sebagai penyelamat keadaan, bukan dalang di belakang tragedi besar itu.
Bantahan terhadap Cornell Paper juga datang dari Antonie CA Dake melalui dua karyanya: In The Spirit of Red Banteng dan The Devious Dalang: Sukarno and the So-Called Untung Putch. Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko. Dake menilai bahwa Soekarno lah dalang G-30-S/PKI. Sukarno -- menurut Dake -- tidak sabar menghadapi tokoh-tokoh Angkatan Darat yang tidak suka program revolusinya.
Melalui konspirasinya dengan kekuatan komunis -- "musuh" Angkatan Darat sepanjang Demokrasi Terpimpin -- Soekarno merasa perlu untuk melakukan "pembersihan".
Versi Dake tersebut memperoleh dukungan antara lain dari David Lowenthal seorang profesor ahli Soviet-Jerman. Dengan mendasarkan diri pada dokumen-dokumen otentik pemeriksaan Widjanarko, Lowenthal menunjukkan secara eksplisit keterlibatan Soekarno dalam G30S/PKI.
Menurut Lowenthal -- sebagaimana dikutip Soerojo (1989; xxvii) -- Sukarno mengkreasi peristiwa itu untuk menghilangkan kerikil-kerikil yang mengganjal jalannya "revolusi yang belum selesai".
Ada keterlibatan Amerika Serikat... baca halaman selanjutnya